RAJAWARTA : Pada hari Kamis (28/11) lalu, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (selanjutnya disebut PPIM UIN) meluncurkan hasil riset mereka terhadap pelaku sekolahrumah atau homeschooling (selanjutnya disingkat SR atau HS). Dalam acara bertema “Radikalisme dan Homeschooling: Menakar Ketahanan dan Kerentanan” itu dipaparkan “risiko persebaran ideologi ekstrem intoleran lewat gerakan SR” (Kompas, 29/11).
Koordinator penelitian Arif Subhan menyampaikan riset ini dilatarbelakangi kasus bom Surabaya pertengahan 2018. Menurut media massa, pelaku pengeboman adalah orangtua yang diduga tidak mengirimkan anaknya ke sekolah formal dan mendidik anaknya sendiri di rumah. Menurutnya, ini berarti “homeschooling, layanan pendidikan alternatif yang sedang tumbuh di Indonesia, memiliki potensi kerentanan terhadap paparan pandangan keagamaan radikal” (nu.or.id, 29/11) dan “berpotensi menyuburkan paham radikalisme” (Jawa Pos, 29/11).
Penelitian ini membagi dua jenis sekolahrumah, yakni sekolahrumah berbasis non-agama dan sekolahrumah berbasis agama. Pada jenis kedua ini, terdapat tiga bagian, yakni sekolahrumah berbasis Islam salafi inklusif, sekolahrumah berbasis Islam salafi eksklusif, dan sekolahrumah berbasis non-Islam (nu.or.id, 29/11).
Dari 56 sampel HS di area Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, Solo, Surabaya, Makassar, dan Padang, ada 5 HS terindikasi terpapar radikalisme (Jawa Pos, 29/11), “dengan landasan ideologi anti-Pancasila” (Kompas, 29/11). Potensi kerentanan terpapar pada ajaran agama yang radikal khususnya ada pada anak SR berbasis agama Islam Salafi eksklusif (nu.or.id, 29/11). Mereka menutup diri, tidak bergaul dengan pemeluk agama lain, dan tidak menerima siswa nonmuslim, proses pembelajaran tidak menerapkan kurikulum nasional (Jawa Pos, 29/11).
Project Manager PPIM UIN Didin Syafruddin mengatakan, “Masyarakat yang cenderung dikucilkan dari lingkungan sosial lebih memilih pendidikan homeschooling. Saat anak tidak mendapat pendidikan formal, maka potensi untuk terkena paham radikalisme semakin besar.” (Gatra, 28/11) Menurut PPIM UIN, HS rentan menjadi celah untuk “menyuburkan transfer ilmu agama secara radikal” muncul dari faktor pembelajaran yang fleksibel, penjauhan anak-anak dari nilai-nilai umum, dan longgarnya pengawasan pemerintah (Jawa Pos, 29/11).
Longgarnya pengawasan pemerintah tampak dari fakta yang ditemukan PPIM UIN bahwa mayoritas dinas pendidikan tak memiliki data jumlah dan nama pelaku SR, yang berakibat adanya SR berbasis keagamaan yang eksklusif dan mendidik anak-anaknya tak jadi bagian bangsa Indonesia. Menanggapi hal ini, Kepala Seksi Pendidikan Kesetaraan Kemendikbud Subi Sudarto merasa sukar mendata keberadaan SR Tunggal (nu.or.id, 29/11). “Pendataan SR tunggal sukar, sehingga pemantauan terkendala,” katanya (Kompas 29/11).
Terhadap temuan riset PPIM UIN dan pernyataan-pernyataan para pihak yang telah dipublikasikan di atas, PHI menanggapi dan menyatakan sikap sebagai berikut:
- PHI mengapresiasi PPIM UIN yang telah melakukan riset tentang homeschooling. Riset ini memberi sumbangan baru terhadap khazanah penelitian tentang HS yang masih sedikit di Indonesia. PHI berharap ke depannya makin banyak akademisi yang meneliti soal HS dan menginformasikan hasil risetnya ke publik. Catatannya, para peneliti perlu sangat cermat melakukan riset literatur tentang isu HS ini, khususnya aspek sejarah, filosofi, dan metode HS, karena saat ini banyak salah kaprah pemahaman yang beredar tentang HS, baik di antara pejabat pemerintah maupun masyarakat.
- PHI menyayangkan kekacauan pengertian homeschooling yang terjadi dalam riset ini karena tim peneliti menjadikan Permendikbud 129/2014 sebagai landasan definisi HS. Memang kekacauan definisi HS dimulai dari Permendikbud tersebut yang membagi sekolahrumah menjadi SR tunggal, SR majemuk, dan SR komunitas – kategorisasi yang tidak jelas dasar literatur akademisnya dan menumpangtindihkan konsep pendidikan berbasis keluarga dengan konsep pendidikan berbasis lembaga. Akibatnya, lembaga-lembaga berlabel HS dianggap HS yang sebenarnya. Padahal dalam sejarah kemunculannya, HS selalu berarti pendidikan berbasis keluarga, bukan pendidikan berbasis lembaga. Kalau sampai ada pihak memakai label HS untuk merekrut siswa umum (bukan anak kandung/perwaliannya), secara esensi itu sudah bukan HS. Dengan kata lain, riset PPIM UIN sejak semula keliru mendefinisikan HS, sehingga salah dalam memilih sampel penelitian, dan dengan sendirinya cacat dalam hasil/simpulannya.
- PHI menyayangkan adanya stereotip dan prasangka negatif dalam pernyataan Project Manager PPIM UIN (per berita) bahwa yang memilih homeschooling adalah orang-orang yang dikucilkan secara sosial. Kami menyebutnya prasangka karena tidak ada basis penelitiannya. Justru menurut riset, yang memilih untuk HS umumnya adalah orangtua berpendidikan tinggi, penuh perhatian pada pendidikan anaknya, dan berkomitmen mengoptimalkan potensi anak; tentang sosialisasi, orangtua homeschooler berkeyakinan bahwa sekolah buka satu-satunya tempat bersosialisasi (Hagen, 2011). Rata-rata orangtua homeschooler mengajari anak untuk respek dan bergaul luas lintas kalangan (Medlin, 2013). Dampaknya, rata-rata anak HS bisa bersosialisasi sama baik seperti anak sekolah (Blok, 2004), bahkan setelah dewasa lebih aktif terlibat dalam kegiatan sosial (Van Pelt dkk, 2009). Dibandingkan siswa sekolah formal, anak-anak homeschooler memiliki kualitas pertemanan lebih baik dengan sebaya maupun orangtua dan orang dewasa lainnya, kepribadiannya lebih bahagia dan optimis, kesadaran moral pun lebih berkembang (Medlin, 2013)
- PHI menolak klaim Project Manager PPIM UIN (per berita) bahwa anak yang tidak sekolah formal lebih besar potensinya untuk terkena paham radikalisme. Riset-riset terdahulu menunjukkan bahwa anak yang belajar di sekolah formal atau lembaga pendidikan nonformal pun rentan terpapar sikap intoleran dan radikalisme dengan persentase yang juga signifikan, antara lain:
• Survei SETARA Institute (2015) terhadap para siswa SMA Negeri di Jakarta dan Bandung mendapati 1 dari 14 siswa pro-ISIS (http://setara-institute.org/persepsi-siswasiswi-smu-negeri-di-jakarta-dan-bandung-terhadap-toleransi/)
• Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP, 2016) terhadap siswa 100 sekolah di wilayah Jakarta dan sekitarnya mendapati hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal, 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi, serta 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju syariat Islam diterapkan di Indonesia. (http://lipi.go.id/berita/single/Anak-anak-muda-Indonesia-makin-radikal/15089)
• Survei PPIM UIN 2017 terhadap 1522 pelajar, 337 mahasiswa, 264 guru, dan 58 dosen di 34 provinsi mendapati 58,5% pelajar/mahasiswa dan 23% guru/dosen secara eksplisit terukur beropini radikal (https://ppim.uinjkt.ac.id/publikasi/infographic-factsheet/)
• Riset Maarif Institute 2018 di 40 sekolah di Padang, Cirebon, Sukabumi, Surakarta, Denpasar, dan Tomohon menyimpulkan bahwa radikalisme masuk ke siswa lewat kegiatan ekstrakurikuler (https://news.detik.com/berita/3834483/maarif-institute-ekstrakurikuler-pintu-masuk-radikalisme-di-sekolah)
• Survei PPIM UIN 2018 terhadap 2237 orang guru muslim di sekolah umum dan madrasah mulai dari jenjang TK sampai SMA mendapati 50,87% punya sikap intoleran dan 6,03% sangat intoleran. Sebanyak 27,59% ingin menganjurkan orang lain agar ikut berperang dalam mewujudkan negara Islam. (https://tirto.id/survei-ppim-2018-569-persen-guru-indonesia-beropini-intoleran-dgbp)
• Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan ada 19 pesantren di Indonesia yang terindikasi mengajarkan doktrin bermuatan radikalisme (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160203201841-20-108711/bnpt-19-pesantren-terindikasi-ajarkan-radikalisme)
Hasil riset-riset di atas menunjukkan bahwa anak muda Indonesia bisa terpapar radikalisme lewat banyak pintu dan itu tak dibatasi oleh sekat jalur pendidikan. Itu berarti kalaupun didapati ada fenomena radikalisasi terhadap anak, harus dicari akar masalahnya, bukan menstigma jalur pendidikannya. Ada anak sekolah formal terpapar radikalisme bukan berarti sekolah formal itu berbahaya. Ada anak pesantren teradikalisasi bukan berarti pesantren itu berbahaya. Begitu pula seandainya pun benar ada anak homeschooler yang teradikalisasi bukan berarti homeschooling itu berbahaya.
- PHI meminta Pemerintah melihat temuan PPIM UIN di atas sebagai masukan sekaligus kritik positif dan karenanya segera memperbaiki kebijakan tentang sekolahrumah yang belum memadai:
a. Pemerintah harus segera merevisi Permendikbud 129/2014 tentang Sekolahrumah yang menumpangtindihkan konsep pendidikan berbasis keluarga (informal) dengan konsep pendidikan berbasis lembaga (nonformal) agar masyarakat yang tidak paham esensi homeschooling tidak terkecoh oleh lembaga berlabel homeschooling, apalagi yang ternyata merekrut siswa untuk dipaparkan pada radikalisme.
b. Pemerintah harus membuat petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) turunan Permendikbud tersebut agar tidak terjadi kekosongan hukum yang membingungkan praktisi, aparat dinas pendidikan, dan lembaga pendidikan nonformal yang menjadi mitra pesekolahrumah, untuk mencegah penyalahgunaan label homeschooling untuk motivasi yang merugikan masyarakat.
c. Pemerintah harus memastikan bahwa aparat dinas pendidikan di semua tingkatan dari Pusat sampai daerah memiliki pemahaman yang merata tentang kebijakan yang sudah diterbitkan terkait sekolahrumah.
- PHI mendukung rekomendasi PPIM UIN agar Pemerintah menciptakan mekanisme pendataan dan pemantauan terhadap praktisi HS demi kepentingan terbaik anak dan masyarakat. Pemerintah tidak boleh berhenti di alibi bahwa pendataan terhadap praktisi HS itu sukar dilaksanakan. PHI telah mencoba dalam skala kecil dan mendapati bahwa pendataan itu tidak sulit untuk dikerjakan dan sangat berguna. Lewat pencatatan anggota, per akhir November 2019 ini PHI memiliki data 329 keluarga homeschooler dengan 737 anak di 23 provinsi, 86 kota/kabupaten. Beberapa informasi keluarga pesekolahrumah yang menurut PHI bisa dan penting untuk dikumpulkan:
• Pernyataan sikap setia pada asas Pancasila dan bhinneka tunggal ika serta NKRI
• Biodata umum orangtua dan anak
• Uraian tentang visi pendidikan keluarga
• Rencana pembelajaran berkala keluarga, termasuk materi/kurikulum yang dipakai dan metode pengajaran yang diterapkan
• Laporan kualitatif berkala tentang hasil pembelajaran dan perkembangan anak - Terkait poin 5 dan 6 di atas, PHI menuntut Pemerintah selalu melibatkan organisasi yang mewakili keluarga-keluarga pesekolahrumah sebagai stakeholder dalam merumuskan kebijakan apa pun terkait sekolahrumah, alih-alih hanya melibatkan pengurus lembaga pendidikan nonformal berlabel homeschooling karena ada kemungkinan lembaga-lembaga tersebut punya konflik kepentingan dengan keluarga homeschooler yang sebenarnya.
- PHI mendesak Pemerintah tegas menanggulangi intoleransi dan radikalisme secara mendasar, bukan hanya menangani gejala, melainkan penyebabnya. Misalnya, kalau pemerintah ragu-ragu untuk menindak sikap intoleran kelompok masyarakat tertentu atau untuk membubarkan organisasi yang berpaham intoleran/radikal, penyebaran paham ini akan terus terjadi. Bukan hanya pelajar, mahasiswa, atau guru, bahkan aparatur sipil negara sendiri bisa terpengaruh oleh sikap intoleran/radikalisme (https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20191126090601-185-451511/pns-intoleran-aduan-paling-tinggi-di-situs-aduan-asn). Sebaliknya, apabila pemerintah bersikap tegas dan konsisten mempromosikan dan melindungi keberagaman, paham intoleran/radikal tak akan bisa menyebar, sehingga tidak ada jalur pendidikan mana pun yang perlu terstigma, baik sekolah formal, nonformal, maupun homeschooling.