Terkait Tipping Fee PTSO, Demokrat dan PPP Dukung Pernyataan PKB

RAJAWARTA : Pernyataan Ketua DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kota Surabaya, Musyafak Rouf yang mengajak para suhu (Pimpinan) politik Kota membahas tipping fee PT Organik (SO), mendapat respon positif dari Muhammad Machmud, Ketua Fraksi Partai Demokrat-Nasdem dan anggota Komisi C DPRD Yos Sudaro, Buchori Imron.

Sebelum menyimak pendapat Machmud dan Buchori Imron yang mendukung pernyataan Musyafak Rouf. Ada dua point yang disampaikan Musyafak. Pertama, pengelolaan sampah di Benowo Pemkos diduga selalu berada di pihak yang rugi, dan PTSO selalu berapa di pihak yang untung.

Kedua, Musyafak Rouf mendesak para suhu politik untuk membahas tipping fee PTSO yang nilainya mencapai Rp 90 M lebih. Oleh karenanya, politisi gaek itu menginginkan tipping fee PTSO dialihkan untuk penanganan Pandemi virus import asal Wuhan China.

Kembali ke laptop. Merespon pernyataan Musyafak Rouf diatas, Machmud dan memilih point kedua, yakni tipping fee pengelolaan sampah di Benowo dialihkan untuk penanganan C19.

Dukungan Machmud terhadap point kedua beralas beberapa alasan, diantaranya karena PTSO sudah bertahun-tahun menerima tipping fee, maka sudah sewajarnya PTSO memahami kondisi keuangan Pemkos.

M. Machmud Ketua Fraksi DPRD Yos Sudarso Kota Surabaya

“Saya mendukung penyataan Ketua DPC PKB agar anggaran untuk pembayaran ke PTSO direfocusing. Karena dia (PTSO) sudah banyak pendapatan, banyak untung, jadi harus berpartisipasilah ke Pemerintah kota ini,” jelas. (8/9/2021).

Machmud tidak menepis bahwa anggaran tipping fee untuk PTSO tertera dalam perjanjian antara Pemkos dengan PTSO. Namun bukan berarti tipping fee PTSO tidak bisa direfocusing. “Anggaran yang sudah tercantum di dalam APBD saja bisa dipindah-pindah, direfocusing semua. Masak dengan PTSO tidak bisa,” tukasnya.

Agar refocusing anggaran pembayaran PTSO bisa segera terealiasi, Machmud menyarankan agar PTSO segera diajak bicara. “Ya paling tidak diajak bicara,” cetusnya.

Ungkap Machmud, PTSO pernah mengajukan adendum ke Pemkos dan adendum yang diajukan PTSO dipenuhi. “Iya. Pada waktu adendum DPRD tidak diajak bicara. Tahunya itu, bahwa ada kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian dimana PTSO punya kewajiban seperti ini, Pemkos punya kewajiban seperti ini,” ulasnya.

Sekedar untuk diketahui ujar Machmud, anggaran pembayaran untuk PTSO tahun 2022 tidak lagi seperti tahun ini sebesar Rp 90 milyaran. “Tahun 2022 anggaran untuk PTSO mencapai Rp 100 milyar lebih,” pungkasnya.

Selain Machmud, dukungan terhadap pernyataan Musyafak Rouf juga disuarakan Buchori Imron, anggota Komisi C DPRD Yos Sudarso Kota Surabaya.

Buchori Imron Anggota Komisi C DPRD Yos Sudarso Kota Surabaya

Menurut Buchori, masalah refocusing tipping fee PTSO sudah pernah dibahas. Sebab, selama ini refocusing yang dilakukan Pemkos hanya terbatas pada anggaran dewan dan dinas. Sementara anggaran lain tidak pernah disentuh.

“Memang itu harapan dari semua, khususnya Komisi C dan sudah dibahas tempo hari. Harapan kita jangan hanya anggaran dewan dan anggaran dinas yang direfocusing. Tapi kalau bisa tipping fee PTSO juga direfocusing,” ujarnya.

Buchori berharap, pihak PTSO memiliki kepekaan sosial terhadap kondisi keuangan Pemkos dan kondisi sosial warga Surabaya. “Jangan hanya anggaran dinas yang direfocusing. PTSO juga harus punya kepekaan sosiallah. Jangan hanya memandang untung,” tukas pria Madas (Madura Asli) ini.

Buchori mengaku paham isi perjanjian PTSO dengan Pemkos. Namun, perjanjian itu dimungkinkan bisa dirubah atau disesuaikan dengan kondisi. “Mungkin perjanjian dulu seperti itu, tapi diperjanjian itu tidak ditulis kalau ada emergency. Sedangkan ini (Pandemi) kan betul-betul emergency,” ujar politisi PPP itu.

Oleh karena itu, Buchori berharap PTSO ikut peduli terhadap kondisi saat ini. “Kami butuh kepekaan sosial dari PTSO, bagaimana caranya ikut menanggung, ikut prihatin terhadap keadaan warga Surabaya,” ungkapnya.

Berapa sebaiknya refocusing anggaran tipping fee PTSO? Buchori menyerahkan sepenuhnya ke Pemkos dan PTSO. “Yang jelas butuh negosiasi, perlu kesepakatan. Cuma kalau kami sebenarnya bicara kepekaan sosial, jadi 50 : 50 kan gitu, karena kami bicara kepekaan sosial bukan bicara sisi bisnis,” tambahnya.