RAJAWARTA : Beberapa penghargaan yang diraih Pemerintah Kota Surabaya (Pemkos) membuat Pemerintahan yang dipimpin Eri Cahyadi, berada dalam posisi nyaman. Dampaknya, antara program dan Fakta di Lapangan masih jauh dari Asa.
Contohnya, predikat Surabaya Kota Layak Anak (SKLA). Dalam hal program, Pemkos banyak melakukan terobosan, namun faktanya program-program yang terkait dengan SKLA belum mampu mengeliminir kekerasan terhadap Anak.
“Beberapa penghargaan membuat Pemkos Nyaman, tapi tidak aman. Artinya sistem sudah dibuat, tapi aplikasi di lapangan kurang maksimal,” cetus Camelia Habibah menjawab pertanyaan media ini : Layakkah Surabaya menyandang Predikat Surabaya Kota Layak Anak Level Dunia.
Politisi PKB itu enggan menyebut Kota Pahlawan tidak layak mendapat Kota Layak Anak. Sebab, Pemkos sudah berbuat banyak untuk meraih Predikat SKLA. “Saya tidak mau mengatakan itu ya (tidak layak), sebab faktanya, Pemkos sudah bekerja keras untuk meriah predikat itu. Faktanya begitu,” ulasnya.
Namun lanjutnya, beberapa peristiwa yang jadi ‘penghambat’ Surabaya untuk meraih SKLA kian hari terus bermunculan. Contohnya, kekerasan terhadap Anak, anak yang terpapar narkoba dan miras, kekerasan seksual, tawuran dan seterusnya.
“Pemkos terlihat fokus pada penanganan, tidak fokus pada antisipasi,” jelas Camelia yang juga ketua Fatayat Kota Sorbejeh ini.
Camelia berharap, Pemkos harus segera menjawab dan menyelesaikan secara tuntas setiap persoalan yang menyangkut kekerasan terhadap Anak. “Penghargaan dan fakta di lapangan harus dijadikan bahan evaluasi bagi Pemkos untuk menjawab, apakah Pemkos sudah layak menyandang predikat SKLA,” tuturnya.
Menurutnya persoalan terhadap anak tidak mungkin bisa terselesaikan tatkala Pemkos bekerja seorang diri. “Pemkos jangan ego. Artinya, dalam menangani persoalan anak Pemkos harus melibatkan semua elemen masyarakat. Dan yang terpenting Pemkos harus berani jemput bola,” pungkasnya.