Soeratmini memang sudah pensiun dua tahun lalu. Nenek 60 tahun ini resmi purna tugas sebagai PNS/ASN di RS Jiwa Menur Surabaya. Pekerjaannya mengantar makanan pasien di rumah sakit tersebut.
Namun Nenek Soeratmini tidak benar-benar “pensiun”. Ketika para pensiunan lainnya lebih banyak beristirahat dan menikmati masa tuanya dengan uang pensiun, tidak demikian dengan Soeratmini.
Nenek Soeratmini dan ketiga Cucuku
Ketiganya tidak bersekolah. Hanya protolan SD. Dhani sempat sekolah sampai kelas 4 SD. Sedangkan kedua adiknya drop out dari bangku kelas 3 dan kelas 2 SD.
“Melihat Dhani, kakaknya, tidak tamat SD, akhirnya ditiru oleh adik-adiknya,” cerita Soeratmini ketika ditemui di rumahnya kampung Dharmawangsa.
Menurut Soeratmini, ketiga cucu laki-lakinya itu sehari-hari menghabiskan waktu di rumah. Tidak belajar, serta tidak bekerja. Kakak beradik itu lebih banyak nonton TV. Juga main handphone milik Dhani secara bergantian.
Mereka korban perceraian orang tuanya. Leni, ibu mereka adalah anak kedua Soeratmini. Sejak bercerai Leni kos di daerah Surabaya Barat. Lalu kawin siri dg pria lain. Sekarang punya dua anak. Sementara Hariyanto, mantan suami Leni tinggal di Bali. Kabarnya juga sudah beristri lagi.
Baik Leni maupun Hariyanto tidak pernah memberi uang untuk ketiga putranya yang saat ini “diklemprakno” dan tinggal bersama Nenek Soeratmini.
Bisa dibayangkan bagaimana masa depan ketiga anak itu kelak? Kalau tidak suram ya kelam. Maklum, mereka tidak punya ijazah SD sekalipun. Juga tidak memiliki keahlian atau ketrampilan khusus. Ditambah lagi mereka tidak bisa seterusnya menggantungkan hidup kepada Soeratmi yang menua. Kehidupan ekonominya juga makin hari makin sulit.
“Uang pensiun saya Rp 3 juta harus dibayarkan Rp 2,5 juta setiap bulan ke Bank Mandiri,” terang Soeratmini. Dia harus membayar angsuran kredit ke bank sebesar Rp 150 juta.
“Saya pinjam bank untuk menutupi utang-utang saat suami sakit-sakitan dan akhirnya meninggal tahun 2012,” sambung wanita tua yang mulai terganggu pendengarannya ini. Almarhum suaminya bekerja sebagai sopir pribadi.
Soeratmini dan ketiga cucunya sering dibantu tetangga untuk bertahan hidup. Salah satunya Suryani, bendahara RT.
Saya mendengar nasib malang Nenek Soeratmini saat bertemu Ketua RW Pak Yono dan Ketua RT-nya Mas Dayat.
Lalu saya menelepon sekaligus mengajak Mas Sugeng, Lurah Airlangga Kec Gubeng, dalam perjalanan dari Gedung DPRD Surabaya ke rumah Nenek Soeratmini. Pak Lurah langsung membatalkan acara lain yang sudah diagendakan, begitu mendengar kisah pilu kehidupan keluarga Nenek Soeratmini.
Kami ditemui langsung Soeratmini bersama kedua cucu di tempat tinggal mereka. Rumah sederhana tersebut milik kakak Soeratmini yang dipinjamkan kepadanya. Sementara cucu ragilnya tidak tinggal bersama mereka lagi di rumah itu.
Dua minggu lalu, Dharma (12 tahun) dijemput ibunya untuk tinggal bersamanya. Bukan untuk disekolahkan. Tapi untuk menjaga dua anak ibunya yang masih balita, ketika ditinggal bekerja sebagai pelayan di salah satu rumah makan.
Pak Lurah Sugeng berjanji menguruskan Soeratmi dan ketiga cucunya agar masuk keluarga MBR (masyarakat berpenghasilan rendah). Sehingga nantinya bisa mendapat bantuan dari pemerintah. Termasuk jatah permakanan.
“Kami juga usahakan agar mereka bisa mengikuti Program Kejar Paket, supaya punya ijazah,” kata Pak Lurah yang rajin blusukan ke kampung di wilayahnya.
“Dengan bantuan Mas Imam sebagai anggota dewan, Insya Allah semuanya akan dimudahkanNya,” imbuhnya.
Sebelum kami pamitan pulang, Pak Lurah pinjam Kartu Keluarga Nenek Soeratmini. Pak lurah minta Ketua RW yang juga hadir untuk langsung mendaftarkan MBR melalui aplikasi via telepon genggamnya.
“Proses pendaftaran via aplikasi sudah selesai dilakukan Pak RW. Semoga lolos verifikasi faktual dari Dinas Sosial,” harap Pak Lurah yang langsung diamini Nenek Soeratmini dan cucunya. (×)