Surabaya sebagai Kota Layak Anak, telah menunjukkan komitmen besar dalam mewujudkan lingkungan yang aman dan ramah bagi anak-anak. Namun, berbagai tantangan perlindungan anak menjadi tanggung jawab bersama, yang membutuhkan kolaborasi erat antara masyarakat dan pemerintah.
Karena itu, menurut pemerhati anak, Isa Ansori mengatakan solusi kolaboratif untuk mengatasi tantangan perlindungan anak, diperlukan pendekatan bottom-up yang melibatkan peran aktif masyarakat di tingkat RT/RW hingga kolaborasi strategis dengan pemerintah.
Adapun beberapa langkah yang dapat diambil, pertama ialah membentuk Satgas Padat Karya Perlindungan Anak di Tingkat RT/RW. Masyarakat dapat membentuk satuan tugas (satgas) perlindungan anak di tingkat RT/RW. Satgas ini terdiri dari kader-kader yang telah diberdayakan sebelumnya, seperti kader posyandu, PKK, atau tokoh masyarakat.
“Peran mereka adalah melakukan pengawasan terhadap aktivitas anak-anak di lingkungan sekitar, memberikan edukasi kepada keluarga mengenai pentingnya pengawasan anak, dan berkoordinasi dengan pemerintah setempat dan pekerja sosial (peksos) untuk menangani kasus-kasus darurat,” kata Isa Ansori, Senin (30/12/2024).
Kedua, adalah pemanfaatan Balai RT/RW untuk Kegiatan Sinau dan Ngaji Bareng. Balai RT/RW telah dijadikan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sebagai pusat aktivitas edukatif bagi anak-anak selama orang tua mereka bekerja, melalui Program Sinau dan Ngaji Bareng.
“Program tersebut mencangkup pendampingan belajar, kegiatan kreatif seperti seni, kerajinan, atau olahraga. Lalu penyuluhan tentang keselamatan dan perilaku positif, dan penguatan peran Karang Taruna maupun Surabaya Next Leader (SNL) hingga menjangkau kampung-kampung,” ujar dia.
Ketiga, perlunya penguatan peran sekolah. Sebab, sekolah dapat menjadi benteng terakhir untuk memastikan anak-anak terlindungi. Kebijakan yang dapat telah diterapkan, antara lain guru bertugas mendampingi anak hingga mereka dijemput oleh orang tua atau keluarga yang dikenal sekolah.
Warga sekolah juga diharapkan melakukan peningkatan pengawasan selama jam istirahat atau saat menunggu jemputan. Serta, melakukan edukasi kepada siswa mengenai keselamatan diri.
“Menggelar kegiatan-kegiatan positif yang menguatkan perkembangan diri, bakat dan minat siswa di sekolah, sehingga anak-anak tumbuh dengan disiplin positif. Guru diharapkan menjadi teman diskusi dan teman anak anak curhat, khususnya anak-anak yang menjelang remaja usia SMP dan SMA, dan menguatkan peran sekolah ramah anak,” terang dia.
Dan keempat, Isa Ansori menjelaskan bahwa Pemkot Surabaya dapat memberikan dukungan berupa, menempatkan pekerja sosial di setiap kecamatan untuk mendampingi satgas dan masyarakat. Menyediakan pelatihan bagi satgas perlindungan anak, dan memberikan bantuan fasilitas seperti peralatan belajar atau tempat bermain aman di lingkungan RT/RW.
Berikutnya, melakukan penjangkauan sekolah ramah anak dan karakter berintegritas bagi sekolah sekolah SMA sederajat yang berada dalam wilayah administrasi pemerintah provinsi. Hingga melakukan sinergi maupun kolaborasi antara Pemkot Surabaya dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap penerapan sekolah ramah anak.
“Serta melakukan penerapan disiplin melalui sekolah kebangsaan yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya kepada anak-anak SMA sederajat sebagai bagian pelaksanaan kota layak anak,” jelasnya.
Oleh sebab itu, agar program ini berjalan efektif, diperlukan sistem monitoring dan evaluasi yang melibatkan semua pihak. Misalnya, pertemuan rutin antara satgas, pekerja sosial, dan pihak sekolah untuk membahas perkembangan dan tantangan yang dihadapi. Selain itu, penghargaan bagi lingkungan yang aktif menjaga anak-anak dapat menjadi motivasi tambahan bagi masyarakat.
“Disiplin positif yang dilakukan Pemkot Surabaya melalui sekolah kebangsaan hendaknya dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu, program disiplin dan tanggung jawab yang dirancang, sebagai bagian bagaimana menumbuhkan sikap tanggung jawab anak-anak terhadap orang tua, masyarakat dan selama menjalani proses itu dianggap sebagai bagian dari proses belajar di sekolah,” tegasnya.
Terakhir, kolaborasi bottom-up dalam perlindungan anak bukan sekadar gagasan, tetapi kebutuhan yang mendesak. Sebab, Surabaya memiliki potensi besar untuk menjadi model kota layak anak yang tidak hanya mengandalkan kebijakan dari atas, tetapi juga memberdayakan masyarakat di akar rumput.
“Dengan sinergi antara masyarakat dan pemerintah, perlindungan anak yang paripurna dapat terwujud, memastikan bahwa setiap anak di Surabaya tumbuh dengan aman, sehat, dan bahagia,” pungkasnya. (*)