RADJAWARTA : Setelah diberikan tiga opsi akhirnya Presiden Jokowi memutuskan untuk memilih untuk memindahkan Ibu Kota Negara ke Luar Jawa dari semula DKI Jakarta.
Sebelum mengambil keputusan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Bappenas, memberikan tiga opsi ke Presiden dan Wakil Presiden dalam rapat kabinet terbatas.
Opsi pertema, Ibu Kota Negara tetap di DKI Jakarta namun kawasan Monas dan Istana akan dibuat distrik khusus pemerintah. Opsi Kedua, memilih daerah di dekat Jakarta, seperti Jonggol atau Maja di Banten. Ketiga, adalah pemindahan ibu kota ke luar Jawa.
“Presiden memilih alternatif ketiga, yaitu memindahkan ibu kota ke luar Jawa,” jelas Bambang Brodjonegoro, dalam keterangan pers usai ratas, di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4).
Bambang menegaskan, keputusan Presiden tersebut akan ditindaklanjuti dalam rapat-rapat selanjutnya. Karena ini adalah membangun kota baru, maka harus membuat konsep masterplan kotanya itu sendiri.
Hanya saja, daerah mana di luar Jawa yang akan menjadi Ibu Kota Indonesia yang baru, Bambang mengaku tidak dibahas dalam rapat kabinet itu. Namun, pemerintah menyadari bahwa pemindahan ibu kota ini akan memakan biaya yang tidak sedikit.
“Tapi dikonfirmasi Menkeu biayanya masih dalam batas yang wajar karena bisa kerja sama baik BUMN dan kerja sama swasta langsung,” jelas Bambang.
Dengan membangun baru, maka akan dibutuhkan adalah bangunan-bangunan pemerintahan, baik eksekutif yakni kementerian dan lembaga, legislatif yakni DPR, MPR dan DPD, serta yudikatif yakni kehakiman, kejaksaan dan MK, serta unsur pertahanan yakni TNI dan Polri.
Bambang menambahkan, juga harus disiapkan pemukiman terutama untuk PNS yang bekerja di lingkungan pemerintahan tersebut. Ada dua alternatifnya, yakni membangun kota dengan estimasi penduduk 1,5 juta orang dan atau 900 ribu orang. Sementara luas lahan, antara 30 ribu hektare atau 40 ribu hektare.
“Arahan presiden dibuat skema pembiayaan yang tidak memberatkan APBN tapi melibatkan partisipasi pihak ketiga,” katanya. (sbr/viva)