SURABAYA – Sejak dilantik menjadi Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi telah banyak meluncurkan beberapa program inovasi untuk masyarakat. Namun sayangnya, program tersebut dinilai kurang berjalan maksimal, karena lurah atau camat kurang bergerak cepat (gercep) melakukan sosialisasi.
Penilaian itu disampaikan legislator dari Fraksi PDI Perjuangan yang juga Ketua Komisi D DPRD Surabaya , Khusnul Khotimah. Menurut dia, banyak program Wali Kota Eri yang sangat baik, namun di lapangan tidak berjalan maksimal karena kurangnya diseminasi.
“Banyak program inovasi Pak Wali Kota yang itu sebenarnya sangat bagus, tapi di lapangan tidak berjalan. Masalahnya apa? bukan karena programnya, tapi karena kurangnya sosialisasi di masyarakat,” ujar Ning Kaka, sapaan lekat Khusnul Khotimah, saat dikonfirmasi, Kamis (2/11).
Dia mencontohkan, salah satu program Wali Kota Eri yang telah dilaunching dan cukup gebyar adalah program Lontong Kupang. Saat ini, program tersebut masih belum tersosialisasi dengan masif di masyarakat. Padahal program ini gratis alias tidak di pungut biaya.
Program Lontong Kupang ini merupakan kepanjangan dari Layanan Online One Gate System Kerjasama Dispendukcapil Surabaya, PA dan Kemenag. Salah satu layanannya yakni, melayani pengajuan itsbat nikah yang dipusatkan di tingkat kelurahan. Layanan ini dinilai cocok bagi warga yang statusnya masih nikah siri.
“Di Surabaya pernikahan dengan status nikah siri itu banyak. Padahal nikah siri itu tidak memiliki hukum tetap. Jika terjadi apa-apa, pemerintah tidak bisa memberikan intervensi lebih jauh karena legalitas pernikahannya tidak ada,” kata Wakil Ketua DPC PDI Perjuangan Surabaya ini.
Ning Kaka, menyoroti kasus salah seorang warga di Kenjeran, yang tidak mampu membayar tunggakan biaya perawatan anaknya di RSUD dr Soetomo. Orang tua tersebut, ternyata juga tidak menikah secara sah di KUA (Kantor Urusan Agama) yang memiliki hukum tetap, tapi berdasarkan nikah siri.
“Saya sempat datang ke rumah Ibu Eni (Eni Susilowati) ibu dari Natasya Aurelia Cahya Putri yang didiagnosa sakit serius dan harus dirawat di RSUD dr Soetomo. Saya tanya ke beliau, ternyata beliau itu nikah siri. Anaknya tidak tercover BPJS, karena tidak masuk data base MBR (masyarakat berpenghasilan rendah),” jelasnya.
Kasus seperti ini, lanjut Ning Kaka, aparat di bawah seperti lurah, camat, RW atau RT langsung gercep bisa menyosialisasikan program Lontong Kupang, agar mengikuti sidang istbat nikah.
“Ada lagi kasus pernikahan siri, yang akhirnya tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Ada salah seorang perempuan yang ternyata istri ketiga, dan nikahnya nikah siri. Setelah terjadi apa-apa, pemerintah tidak bisa bantu karena pernikahannya belum diakui negara,” ungkapnya.
Dengan banyaknya permasalahan di lapangan, Ning Kaka mewanti-wanti agar seluruh aparat Pemkot Surabaya utamanya yang di bawah langsung gercep, ketika wali kota melaunching program inovasi.
“Jangan sampai, gebyar inovasi itu hanya saat seremonial di atas saja. Tapi di bawah tidak jalan. Kan eman, padahal program itu sangat bagus dan bermanfaat untuk masyarakat,” tandasnya. [*]