RAJAWARTA : Harga minyak goreng di Kota Surabaya di pasar tradisional tak kunjung turun kendatipun ada kebijakan minyak goreng satu harga Rp 14.000 per liter dan penyaluran minyak goreng subsidi yang mencapai 1,5 miliar liter oleh pemerintah sejak 19 Januari 2022 lalu.
Info dan pengaduan tentang harga dan ketidaktersediaan stok minyak goreng bersubsidi sampai juga ke pimpinan DPRD.
Hal ini pun lantas mengundang perhatian Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya Reni Astuti yang turun langsung mengecek harga dan ketersediaan minyak goreng subsidi di tiga pasar tradisional di Kota Pahlawan seperti pasar Pakis, pasar Keputih, dan pasar Klampis, Selasa (8/2).
Berdasarkan pantauannya, politisi PKS ini menyampaikan bahwa minyak goreng subsidi seharga Rp 14.000 per liter belum ditemukan di pasar-pasar tradisional. Di Pasar Pakis, misalnya, harga minyak goreng kemasan masih berkisar Rp 16.000 hingga Rp 17.000 per liter.
“Minyak subsidi belum menyentuh pasar tradisional. Tidak ada yang harga segitu (Rp 14.000), pedagang juga menginfokan tidak ada kiriman minyak bersubsidi, adanya di toko-toko modern seperti minimarket, swalayan, atau supermarket. Ini yang jadi perhatian saya,” papar Reni.
Sulitnya mendapat minyak goreng subsidi dikeluhkan baik para pedagang maupun pembeli. Persoalan yang dialami para pedagang pasar ini pun menjadi perhatian tersendiri bagi Pimpinan DPRD Surabaya tersebut untuk mendorong geliat pasar tradisional.
Pasalnya, para pedagang ini terkena imbas pasca penurunan harga minyak goreng serentak. Stok yang tersedia adalah stok lama yang saat itu dibeli pedagang dengan harga lebih tinggi, akhirnya konsumen pun lebih memilih membeli ke toko modern sebab harga yang lebih rendah.
Seperti diungkapkan penjual toko kelontong Pasar Klampis, yang masih punya stok lama saat ia kulakan seharga Rp 19.500. Sementara untuk minyak curah mengalami penurunan harga dari Rp 19.500 menjadi Rp 15.000, namun pasokan barang tengah kosong.
Selaras, Siti misalnya, salah seorang penjual sembako di Pasar Pakis juga menuturkan hal serupa bahwa stok minyak goreng miliknya masih kosong. Dirinya menyebetukan bahwa telah pesan namun pihak pemasok belum mengirim kembali.
Lebih lanjut, alumnus ITS ini mengatakan bahwa konsumen pun akhirnya terpaksa membeli stok minyak goreng yang tersedia dengan nominal harga di atas harga eceran tertinggi (HET). “Itu pun pedagang ada yang gak ambil untung, karena kulakannya ya sebesar (harga) itu juga. Jadi mereka masih punya stok lama sebelum kebijakan minyak goreng satu harga,” ucapnya.
Menurut Reni kondisi demikian perlu untuk mendapat perhatian dari Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dalam hal memastikan distribusi minyak goreng ke pedagang-pedangan tradisional. “Saya mendorong Pemkot Surabaya untuk memastikan ketersediaan stok minyak goreng agar tidak hanya tersalurkan kepada minimarket ya, tapi juga para pedagang tradisional,” tuntasnya.
Reni berharap agar minyak goreng subsidi dapat segera masuk ke pasar-pasar tradisional sebab masyarakat yang berbelanja pun menginginkan harga minyak goreng yang lebih ekonomis sekaligus menghidupkan pasar tradisional