Kab. Malang – NU dan Pesantren tak terpisahkan, keduanya menjadi embrio cikal bakal kekuatan yang harus mengakar dalam kesadaran berjam’iyah para nahdhiyin,, harus ada pakem besar yang dijaga, kesepakatan aturan main didalamnya, agar hasil dari konfrensi Cabang NU Kabupaten Malang nanti, akan melahirkan kepemimpinan yang mumpuni dan berwibawa.
Pengasuh Pondok Pesantren Salaf Qur’an (PPSQ) Asyadzili Sumber Pasir, KH. Abdul Mun’im disela-sela acara Majelis Sholawat Dalailul Khoirot, Kamis (2/12/2021) menyampaikan, bahwa NU harus kembali menjadi rumah besar yang nyaman bagi segenap warga masyarakat nahdliyyin didalamnya, sebab tujuan awal didirikan NU memang sebagai wadah perjuangan para ulama’ dalam berdakwah, membina serta menjaga umat (warga NU), mengajarkan Islam Aswaja serta tujuan membentuk karakter akhlak mulia dalam konteks bermasyarakat, bernegara, berbangsa dan bertanah air.
“Harus dipertegas kembali bahwa pesantren adalah NU kecil dan NU adalah pesantren besar, jangan lupa bahwa menngurus NU adalah. merupakan bagian dari merawat semangat kebangkitan ulama’ dan umat dalam menjaga spirit perjuangan para masyayikh kita.”
“Kebangkitan NU tidak bisa dilepaskan dari pesantren. Sebab pesantren adalah alasan berdirinya NU, pesantren sebagai basis pendidikan agama, sekaligus juga pesantren sebagai poros pendidikan calon manusia mulia, sebab didalamnya diprioritaskan pendidikan akhlak, pendidikan moral, pendidikan etika, maka bisa dipastika pesantren adalah penempaan lahir batin menuju umat yang diharapkan nabi kita.”
“Sejatinya NU adalah refleksi kebangkitan Ulama”, sedangkan kita paham benar bahwa ulama’ adalah para pewaris nabi Muhammad SAW, yang melanjutkan keberlangsungan ajaran-ajaran nabi dalam menata umat manusia menjadi insan kamil.’ Lanjut Buya Mun’im.
Buya Mun’im lantas menambahkan, “NU harus kembali ada marwah yang dibangun dari kesadran bersama, sesungguhnya NU itu rumah Kyai dan warga Nahdhliyin, rumah penerus kanjeng Nabi, didalamnya umat harus dibikin betah untuk berteduh dan bersandar pada NU, jangan dibikin gusar dan bingung, jadi NU bukan hanya ajang untuk kontestasi, politisasi, yang ujung-ujungnya saling menghalalkan cara, jangan sampai akhirnya ujung-ujungnya NU hanya menjadi ruang stempel legalitas politik praktis menjelang Pileg, Pilpres hingga Pilkada, eman NU ne.” Tegas Kyai Alumni Ploso Tersebut.
Sementara itu Ustadz Ainul Yaqin Wakil Ketua Majelis Dakwah dan Pendidikan Islam (MADANI), memaparkan dalam wawancaranya, bahwa sudah bisa dipastikan NU harus kembali pada posisi dan tujuan awal didirikannya NU, yang mampu menjawab segala tantangan zaman, yang semakin kompleks, karenanya kejernihan dan kemandirian para pengemban amanah NU didalamnya, sangat penting, kemurnian dalam setiap kebijakan para pemangku NU menjadi taruhan marwah NU, kebijaksanan para kyai didalamnya akan berimplikasi langsung pada kesetiaan warga nahdhliyin pada nantinya.”
“Jika kita melihat sejarah, dahulu Rais Akbar NU, KH. M Hasyim Asy’ari mencetuskan fatwa resolusi jihad. Itulah yang menjadi pemicu perjuangan kiai dan santri pesantren untuk mempertahankan kemerdekaan dari penjajah yang mencoba masuk kembali ke Indonesia, ada energi besar yang mengalir dan membersamai sebuah harapan dan tujuan . “ terangnya.
“Kemerdekaan itu bisa dimaknai kebebasan dan kedaulatan mengelola jam’iyah, konteksnya juga dapat dimaknai bagaimana memposisikan diri kita sebagai bagian dari NU yang mandiri, berwibawa dan bermartabat sebagai organisasi.”
“NU sudah semestinya selaras dengan semangat menerjemahkan ajaran warisan Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy”arie yang mengakar ke bawah, menjadi bagian umat (warga NU) tanpa harus mencerabut akar budaya, dengan mencairkan pola penyampaian Islam wasathiyah yang menjamah ruang-ruang egaliter, mengimplementasikan sebagai bagian dari penerjemahan syi’ar dan dakwah Islam rahmatan lil “alamin, sehingga nilai kewibawaan Jam’iyah NU benar-benar kokoh dan tidak terdegradasi sebab langkah-langkah kerdil kita.” Tegas Inisiator dan pendiri BAANAR (Badan Ansor Anti Narkoba) Nasional tersebut.
“Karenanya sakralitas NU sepatutnya tetap terjaga, diantaranya NU yang ttetap kokoh, sesuai khittah 1926, NU harus dikembalikan sebagai semangat persatuan (Al-Ittihad), persatuan dan kesatuan tujuan membangun peradaban bangsa, denan segala tujuan dan orientasi untuk kemaslahatan, tidak bisa condong sebelah, sebab peran NU sangat penting dalam melestarikan semangat persatuan bangsa dan tanah air yang sangat luar biasa. Sebab Hadratus Syekh itu menjunjung ittihad daripada kepentingan pribadi.”
“Buya Mun’im merupakan harapan bagian representasi pesantren, mewakili setidaknya beberapa hal yang menjadi cita-cita kita bersama, harapan nantinya NU Kab. Malang kedepan yang berwibawa dan punya posisioning jelas yang mendekati spirit tersebut.” Ujar Gus Ainul mengakhiri.
Wakil Rois Syuriyah MWC Ngantang Kyai Saiful, menyampaikan bahwa NU membutuhkan Sosok pemimpin tersebut, yang mau bekerja untuk jamiyahnya. Bukan orang-orang yang berorientasi bekerja meraih keuntungan dari jamiyahnya. apalagi hanya memanfaatkan Jam’iyah untuk memenuhi hasrat pribadinya.”
“NU itu warisan ulama’ , harus dilestarikan bukan hanya sebagai warisan Jam”iyah saja, namun semangat menjaga NU seagai wasilah dan ibadah kita.”
“Pemimpin NU harus meningkatkan perjuangannya dan semangat bekerja untuk kemaslahatan ummat. Harus bisa berani mengalah, membedakan kepentingan pribadi untuk ummat, semoga ikhtiar kita dimudahkan Allah, Tegas Kyai Alumni Pesantren Darul Falah Jombang tersebut.()