RAJAWARTA : Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menjadi pembicara pada seminar yang digelar oleh The International Institute for Justice and the Rule of Law (IIJ). Seminar yang digelar secara online itu bertajuk Peran Pemimpin Lokal dalam Merespon Serangan Terorisme.
Pada kesempatan itu, Wali Kota Risma bersanding satu panel dengan dua narasumber yakni Direktur Unit Anti-Radikalisasi Pemerintah Kota Brussels Belgia, Hadeline Feront, dan Manajer Strong Cities Network (SCN), Inggris bernama Marta Lopes.
Sebenarnya, kegiatan tersebut dilaksanakan pada 11–13 Maret 2020 lalu di Malta. Namun, karena pandemi Covid-19 ditunda dan diputuskan berlangsung via daring, sehingga Wali Kota Risma memberikan paparannya di rumah dinas Wali Kota Surabaya.
Dalam seminar itu, Wali Kota Risma memaparkan peran Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dalam menangani kasus bom yang terjadi pada tahun 2018 silam. Pada saat kejadian itu, Wali Kota Risma langsung berkeliling mendatangi gereja selama dua hari berturut-turut. Menurutnya kejadian waktu itu membuat warga maupun pemerintah merasa sangat terpukul.
“Padahal Surabaya dikenal kota yang aman dan tentram. Apalagi menurut survey tingkat kepuasannya masyarakat cukup tinggi. Itu yang membuat kami traumatik warga maupun pemerintah,” kata Wali Kota Risma.
Wali kota perempuan pertama di Kota Surabaya menjelaskan pihaknya langsung berkoordinasi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang Surabaya, Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi) serta tokoh agama untuk sama-sama menyelesaikan persoalan dengan penanganan cepat dan tepat. Bahkan ia juga mengundang psikolog dan psikeater untuk melakukan trauma healing kepada anak-anak korban.
“Kita juga melakukan hal yang sama pada anak para pelaku yang masih hidup,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, khusus untuk anak para pelaku pengeboman mereka juga didampingi oleh psikolog dari universitas islam. Hal itu penting dilakukan selain untuk menghilangkan rasa traumanya mereka juga dapat di deradikalisasi. “Selain di healing traumanya, juga di deradikalisasi sudut pandangnya. Makanya kami libatkan,” tegas dia.
Menariknya, saat paparan terlihat foto Ibu Pemantau Jentik (Bu Mantik) ikut dalam upaya penanganan kasus terorisme. Hal tersebut mengundang rasa penasaran dari audience, moderator bahkan narasumber pun ikut menyampaikan pertanyaan. Para penanya itu ingin tahu sejauh apa peran Bumantik dalam menangani kasus teroris.
“Sebenarnya ide saya yang ingin menggerakkan seluruh sumber daya yang ada untuk turun langsung. Apalagi jumlahnya sangat banyak yakni 22 ribu. Selain itu Bu Mantik adalah orang yang punya hubungan baik dengan warga yang bisa masuk-masuk ke rumah,” paparnya.
Oleh karena itu, pada saat bertugas, Wali Kota Risma juga meminta tim Bu Mantik melakukan pemantauan apabila di rumah warga ditemukan hal-hal yang mencurgikan atau atribut yang tidak biasanya. “Nah itu saya memanfaatkan. Jika menemukan hal yang mencurigakan saya minta langsung menghubungi kami,” ungkap dia di sembari tersenyum.
Mendengar hal itu, para audience terkagum-kagum melihat pendekatan inovatif yang digunakan Wali Kota Risma dalam mengatasi persoalan teroris. Bahkan terkait kerjasama dengan IDI, Persi, maupun para tokoh masyarakat, para pembicara yang lain menilai Pemkot Surabaya tampak begitu mudah melakukan koordinasi dibandingkan dengan kota-kota mereka. “Kami lakukan pendekatan personal dimana sering kami libatkan dalam kegiatan pemkot sehingga mereka punya hubungan yang baik dengan pemkot,” pungkasnya (*)