Catatan: Yousri Nur Raja Agam
HARI INI, 75 Tahun silam, Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir.H.Sukarno, tahu persis peristiwa yang terjadi di Kota Surabaya. Saat itu, 10 November 1945 adalah “puncak” perjuangan Arek-arek Suroboyo melawan tentara Sekutu.
Pasukan yang menjadi juara Perang Dunia II itu mendapat perlawanan sengit pemuda-pemudi pejuang yang berada di Kota Surabaya. Dengan penuh semangat membaja, bermodalkan tekad semata, atau dikenal dengan sebutan bandha nekad (dibaca: bondo nekad), melawan tentara yang menggunakan senjata modern.
Akibatnya, lebih 17 ribu jiwa melayang, mayat-mayat pejuang bergelimpangan, gugur sebagai pahlawan bangsa di Bumi Surabaya.
Tanggal 10 November 1945 bukan “hari kemenangan”, tetapi hari “berdukacita” dan “berkabung nasional”.
Itulah yang menjadi dasar dan pokok pikiran Bung Karno, menjadikan tanggal 10 November ditetapkan sebagai “Hari Pahlawan” dan Kota Surabaya, sebagai “Kota Pahlawan”. Dan, ingat bahwa pada hari itu kita “diwajibkan mengheningkan cipta”, menundukkan kepala bertafakur, berdoa demi para pahlawan kita yang gugur di medan juang.
Nah, seyogyanya di hari berkabung nasional itu kita mengibarkan berndera Merah Putih, setengah tiang, sebagai tanda “berkabung nasional” di Hari Pahlawan”.
Tradisi mengibarkan bendera satu tiang penuh selama ini pada Hari Pahlawan, seharusnya kita ubah menjadi “Pengibaran Bendera Merah Putih Setengah Tiang” di Hari Pahlawan atau di hari-hari sekitar Hari Pahlawan, yakni beberapa hari sebelum sampai sesudahnya.
Perlu diketahui oleh para generasi muda kini dan yang akan datang, bahwa sesungguhnya tanggal 10 November 1945 itu, “maaf” adalah hari “kekalahan” kita. Betapa tidak, sebab pada hari itu, sore sampai malamnya Gubernur Suryo selaku Kepala Pemerintahan Provinsi Jawa Timur “mengalah” dan terpaksa menyingkir ke luar kota Surabaya.
Terhitung sejak tanggal 11 November 1945, “Ibukota Jawa Timur terpaksa pindah dan mengungsi dari Kota Surabaya”. Sebab, tentara Sekutu “mengamuk” secara membabibuta melakukan serangan luar biasa. Serdadu Inggris yang diperkuat pasukan Gurkha dari Pakistan dan India itu membombardir Kota Surabaya dengan meriam dari armada kapal perang yang berlabuh di Tanjung Perak.
Pesawat terbang melakukan manover, meraung-raung di udara sembari menjatuhkan bom. Membumihanguskan kawasan permukiman di Kota Surabaya yang sudah ditinggalkan warga kota mengungsi ke luar kota yang dianggap aman.
Mengungsi Empat Tahun
Tahukah anda? Gubernur. bersama Pemerintahan Provinsi Jawa Timur “mengungsi” dan memindahkan pusat pemerintahan ke luar kota. Lebih empat tahun, yakni terhitung sejak tanggal 11 November 1945 sampai 19 Januari 1950.
Baru, setelah terjadi setelah Penyerahan Kedaulatan Pemerintahan Republik Indonesia dari Pemerintahan Kolonial Belanda tanggal 27 Desember 1949 kepada Pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat).
Dan tahukah anda, bahwa Gubernur dan staf Pemerintahan Provinsi Jawa Timur, mengungsikan ibukota Jawa Timur, ke luar kota Surabaya secara berpindah-pindah ke 11 (sebelas) tempat, yaitu: 1) Sepanjang (Kabupaten Sidoarjo), 2) Kota Mojokerto, 3) Kota Kediri, 4) Kota Malang, 5) Kota Blitar, 6) Lereng Gunung Wilis daerah barat Kediri, 7) Desa di Kabupaten Blitar, 8) Desa di Kabupaten Jombang, 9) Desa di Kabupaten Bojonegoro, 10) Desa di Kabupaten Madiun dan 11) Desa di Kabupaten Nganjuk. Kemudian kembali ke Surabaya.
Serta tahukah anda, bahwa selama Pemerintahan dalam pengungsian itu, terjadi tiga kali penggantian gubernur Jawa Timur, yakni: dari Gubernur RMTA Suryo kepada dr Murdjani dan dari dr.Murdjani kepada Samadikun. Perlu juga diketahui, di masa pemerintahan pengungsian itu, juga ada Gubernur Militer yang dijabat oleh Kolonel Sungkono.
Secara resmi Pemerintahan Provinsi Jawa Timur, kembali memindahkan atau “pulang” ke Ibukotanya di Surabaya tanggal 19 Januari 1950, yakni di Jalan Pahlawan 110 Surabaya.
Mari kita lihat sejenak ke belakang rangkaian kegiatan perlawanan kepada penjajah sudah menggelora sejak sebelum Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan Proklamator Sukarno-Hatta dari Jakarta, 17 Agustus 1945.
Dari seluruh penjuru Nusantara terjadi berbagai reaksi, akibat kekalahan Jepang kepada pasukan Sekutu. Balatentara Jepang yang sudah menguasai Indonesia selama tiga setengah tahun sejak tahun 1942 benar-benar “bertekuk lutut” kepadagabungan tentara dari negara Eropa dan Eropa itu.
Sebelum persenjataan Jepang dilucuti oleh tentara Sekutu, sebagian besar gudang-gudang senjata dan mesiu milik Jepang sudah dikuasai pejuang Bangsa Indonesia. Para pemuda Indonesia yang terlatih menjadi Tentara Peta (Pembela Tanah Air) oleh Jepang, bergabung ke BKR (Badan Keamanan Rakyat). Inilah cikal-bakal TNI (Tentara Nasional Indonesia), yang sebelumnya bernama TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
Bahkan di Kota Surabaya, lahir barisan Polisi Istimewa (PI), yang memproklamasikan diri sebagai Kepolisian Republik Indonesia (Polri), tanggal 21 Agustus 1945. Proklamasi Polisi di Surabaya itu, hanya seminggu setelah Proklamasi Kemerdekaan RI. Dan, ini mendahului Hari Bhayangkara, yang baru ditetapkan tanggal 1 Juli 1946.
Dalam sejarahnya, Polisi Istimewa yang lahir di Surabaya di bawah pimpinan M.Jasin itu, menjadi cikal-bakal Mobile Bigade (Mobrig) yang kemudian berubah menjadi Brimob (Brigade Mobil).
Rentetan peristiwa di Surabaya, masih berlanjut dengan peristiwa Insiden Bendera tanggal 19 September 1945 di Hotel Yamato atau Orange Hotel di Jalan Tunjungan 65 Surabaya.
Berlanjut lagi dengan Rapat Raksasa rakyat Surabaya di Lapangan Tambaksari Surabaya, 21 September 1945. Sampai kedatangan pasukan Sekutu dengan armada laut pada bulan Oktober 1945.
Peperangan dengan pihak tentara Sekutu tidak terhindarkan. Kemudian diketahui, ternyata bersama pasukan Sekutu itu, membonceng pasukan Belanda yang sebelumnya menjajah Indonesia. Mereka tidak mengakui kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah diproklamasikan 17 Agustus 1945.
Hal inilah yang membuat Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama Arek-arek Suroboyo marah. Ultimatum tentara Sekutu kepada rakyat Surabaya agar mengembalikan senjata-senjata yang sudah dikuasai para pejuang, membuat Arek Suroboyo tersinggung. Semangat perlawanan tidak dapat dibendung.
Terjadi perang yang tidak seimbang. Senjata rampasan dari Jepang ditambah senjata tradisional melawan mesin-mesin Perang Dunia II yang modern.
Akibatnya, belasan ribu jiwa rakyat Surabaya dan kabupaten lain di Jawa Timur yang datang ke Surabaya menjadi korban. Mayat bergelimpangan di jalan-jalan dan lorong-lorong kampung dalam kota Surabaya. Mereka gugur sebagai pejuang dan pahlawan.
Puncaknya, tanggal 10 November 1945, pertahanan Arek-arek Suroboyo porak poranda. Rakyat mengungsi ke luar kota Surabaya. Berbondong-bondong menyelamatkan diri dari bumi hangus di Kota Surabaya. Sejarah menyatat bahwa lebih 16 ribu jiwa lebih melayang di Bumi Surabaya.
Tanggal 10 November 1945, sesungguhnya merupakan hari berkabung nasional. Betapa tidak, sebab pada hari itulah, jumlah korban pahlawan yang gugur sebegai kusuma bangsa tidak terhitung lagi.
Nah, pada Hari Pahlawan itu, kita seyogyanya mengibarkan “bendera setengah tiang”. Kita merenung dan mengheningkan cipta mengenang para pahlawan yang gugur di Hari Pahlawan.
Dengan demikian, sudah saatnya, kita melakukan ecvaluasi dan koreksi, serta membuat kesepakatan, bahwa Hari Pahlawan adalah Hari Berkabung Nasional. Kita wajib mengheningkan Cipta dengan mengibarkan Bendera Setengah Tiang.
Seharusnya, bukan seperti sekarang, yang kita peringati adalah semangat heroik semata. Marilah kita tafakur, menundukkan kepala, mengheningkan cipta. Mengenang kesedihan dan duka atas gugurnya Pahlawan Bangsa.
Jadi, selayaknya Hari Pahlawan kita wujudkan sebagai “Hari Berkabung Nasional” dengan mengibarkan “Bendera Merah Putih Setengah Tiang”. (yousri)