Oleh: Agus Harimurti Yudhoyono*)
Selama hampir 21 tahun reformasi, bangsa Indonesia patut berbangga hati telah mampu mempertahankan prestasinya sebagai negara demokrasi yang paling stabil di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Pada saat yang sama, karakteristik demokrasi di Indonesia juga unik. Di saat banyak pakar politik internasional yang menilai bahwa Islam tidak sesuai (compatible) dengan nilai-nilai demokrasi, justru demokrasi di Indonesia ini lahir dari rahim politik masyarakat Muslim terbesar di dunia.
Pada 17 April mendatang, kualitas demokrasi Indonesia akan kembali diuji. Mampukah kita sebagai anak bangsa melaksanakan Pileg dan Pilpres secara aman, damai, adil, dan demokratis? Ataukah kita akan larut dan terjebak lebih mendalam ke dalam kepentingan politik jangka pendek hingga mengaburkan semangat demokrasi yang berintegritas?
Dalam rentang waktu kampanye politik yang panjang, berdurasi delapan bulan sejak September 2018 hingga April 2019 ini, kita menyaksikan bagaimana bangsa ini menghadapi ujian demokrasi dan kebangsaan. Wacana politik publik yang berkembang baik di media maupun di kehidupan sehari-hari masyarakat didominasi oleh hiruk-pikuk benturan antar narasi politik yang tidak konstruktif. Sikap saling tuding dengan menggunakan narasi identitas laiknya antara pro-kebhinekaan dan pro-Islam, antara pro-NKRI dan pro-khilafah, atau antara pro-Pancasila dan anti-Pancasila, seolah memperlebar jarak hubungan kita sebagai sesama anak bangsa.
Identitas kebhinnekaan dan keislaman seolah hendak terus dibentur-benturkan. Narasi keislaman dan kebhinekaan seolah sengaja dimunculkan sebagai identitas eksklusif kelompok tertentu untuk membedakan diri dengan kelompok lainnya. Kondisi itu diperparah oleh makin menguatnya produksi informasi menyesatkan (hoaks), fitnah, dan ujaran kebencian yang terus meningkat pesat dan tersirkulasi ke semua penjuru nusantara, menjangkau hampir semua lapisan masyarakat dari berbagai latar belakang.
Pada saat yang sama, volume produksi hoax yang melimpah dengan konten berisi sensasi itu tidak diimbangi oleh kemampuan masyarakat kita untuk mencerna ragam informasi secara kritis dan berhati-hati. Akibatnya, perasaan masyarakat menjadi semakin teraduk-aduk, bingung, dan juga lelah. Kondisi itu kian melelahkan ketika sejumlah media mainstream juga terjebak dalam ruang kepentingan jangka pendek hingga membuat kredibilitas dan independensi mereka dipertanyakan.
Akibatnya, ruang dialogis yang tercipta di tengah masyarakat menjadi makin terbatas. Ini sekaligus menebalkan efek echo chambers, saat polarisasi sosial-politik di tengah masyarakat terus menguat akibat masing-masing kubu hanya mendengar gema suara teriakan mereka sendiri. Praktis dialektika yang produktif tidak tercipta.
Memang, penggunaan narasi identitas semacam itu bukan hal baru dalam sejarah dinamika dan konstalasi politik Indonesia. Bahkan pada Pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2016 lalu, penggunaan narasi identitas semacam itu sudah cukup intensif dilakukan. Kendati demikian, dalam kontestasi menjelang Pemilu 2019 ini, penggunaan narasi identitas itu terasa lebih keras dibandingkan dengan Pilpres-pilpres sebelumnya di era reformasi.
Akibatnya, polarisasi nampak lebih tajam. Sikap saling curiga terus tercipta. Sikap saling membenci terus mengental. Bahkan kontak fisik hingga praktik pembunuhan antar pendukung pasangan calon pemimpin negeri juga telah terjadi. Semua itu berimplikasi pada hubungan antar identitas yang semakin berjarak. Jika situasi ini berkembang makin jauh dan melampaui batas kepatutannya, wajar kita mengkhawatirkan masa depan persatuan dan kesatuan bangsa.
Bagaikan api dalam sekam, ketegangan ini terus memanas meski tak tampak secara kasat mata dalam kehidupan sehari-hari. Tidak sepatutnya pemerintah dan kita menutup mata atas realita sosial dibalik permukaan ini. Cukup sudah bangsa ini mengalami tragedi-tragedi kelam berupa kerusuhan-kerusuhan sosial, yang memutus tali persaudaraan dan kebangsaan seperti di masa-masa lalu.
Dewasa Berdemokrasi
Demokrasi adalah mekanisme politik yang memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada semua anak bangsa untuk menyuarakan aspirasi serta kepentingan masing-masing. Karenanya demokrasi tak boleh dibiarkan menjadi wahana kompetisi yang tidak produktif hingga mengancam keutuhan bangsa dan menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perpecahan dan disintegrasi.
Pemilu memang keras, dengan kontestasi yang sengit. Tapi jangan kita biarkan sistem demokrasi kita justru menjadi ajang pertarungan yang menggerus pilar-pilar kerukunan dan keutuhan kita sebagai bangsa. Untuk itu, diperlukan tanggung jawab dan jiwa besar kita semua, utamanya para elit dan pemimpin bangsa.
Ke depan, pasca pelaksaaan Pemilu 2019, saya mengajak seluruh anak bangsa untuk kembali memperkuat semangat rekonsiliasi. Semua pihak harus semakin dewasa dan matang untuk bersikap dan berbicara di ruang publik, agar masyarakat terbebas dari belenggu prasangka dan amarah. Tenangkan hati dan pikiran masyarakat agar kembali jernih, tidak terprovokasi untuk saling berhadapan satu sama lain.
Dialog antarkelompok identitas yang berbeda juga perlu ditingkatkan untuk mengokohkan konsensus bersama untuk terus menjaga dan merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mari kita tunjukkan kepada dunia bahwa umat Islam Indonesia adalah kaum yang rasional; bersih hatinya, dan jernih pikirannya. Jangan lagi identitas Islam dan kebhinekaan dibentur-benturkan. Ajaran Islam jelas menghargai kebhinekaan. Sedangkan karakter sejati kebhinnekaan adalah sifatnya yang inklusif, merangkul semua suku, ras, agama dan golongan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kerukunan dan hubungan baik antar sesama elemen masyarakat yang tergerus belakangan ini harus kembali dipulihkan dengan sikap saling percaya satu sama lain (mutual trust). Pemerintah harus bisa mengayomi dan mempersatukan rakyatnya, bukan justru memisahkan mereka dengan narasi dan tagline apapun. Negara harus melindungi kaum minoritas, tanpa menomor-duakan kaum mayoritas (sbr/JP/PD)