RAJAWARTA : Fenomena dugaan penghinaan dan ujaran kebencian yang dilakukan ZKR (43), melalui postingannya di media sosial yang ditujukan kepada Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, nampaknya memantik banyak pihak untuk bersuara. Mulai dari kalangan politisi, akademisi, hingga pengamat hukum, turut serta memberikan pernyataan dari sudut pandang mereka masing-masing. Salah satunya adalah Dekan Fakultas Hukum, Universitas Narotama Surabaya, Rusdianto Sesung.
Dalam Pasal 27 UUD 1945 ayat (1) disebutkan, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
“Artinya, semua orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan, serta dilindungi oleh konstitusi, tanpa mengenal dia pejabat ataupun bukan,” kata Rusdianto Sesung.
Namun demikian, Lulusan Terbaik S3 Doktor Ilmu Hukum Tata Negara FH, Universitas Airlangga Surabaya ini mengatakan, bagi pejabat tinggi Negara, yakni Presiden dan Wakil Presiden, memang memiliki keistimewaan (privilege) tersendiri. Kepala Negara memiliki privilege atau keistimewaan untuk tidak bisa dituntut secara hukum biasa. Meskipun terdapat Pasal 27 UUD 1945.
“Seperti Presiden dan Wakil Presiden atau anggota DPR yang memiliki hak imunitas yang diberikan oleh konstitusi. Sehingga mereka tidak bisa dituntut secara hukum biasa,” katanya.
Ketika berkaca pada kasus yang terjadi di Surabaya, postingan yang dilakukan ZKR (43) melalui media sosial pada 16 Januari 2020, hal ini sudah masuk dalam unsur penghinaan. Karena itu, wajar saja jika kemudian Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya melaporkan pemilik akun tersebut kepada pihak kepolisian.
“Ketika seseorang itu diganggu harkat dan martabatnya, maka dia memiliki hak yang sama dalam upaya hukum. Hal yang biasa ketika seorang manusia merasa harga dirinya dihina itu kemudian melaporkan,” ujar Rusdianto Sesung.
Ia menjelaskan, bahwa dalam hidup bermasyarakat, manusia mempunyai dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek eksistensial. Hukum sebagai produk budaya timbul dan berkembang bukan sekadar memenuhi aspek fisik. Melainkan juga untuk memenuhi aspek eksistensial manusia dalam hidup bermasyarakat.
“Aspek fisik itu adalah aspek yang menyangkut semua makhluk hidup itu sama. Butuh makan, minum, tidur dan sebagainya. Tapi dalam hidup bermasyarakat, juga terdapat aspek eksistensial yang menjadi ciri dari manusia itu,” paparnya.
Nah, permasalahannya, lanjut dia, ketika aspek fisik ini diganggu, biasanya manusia akan bertindak seperti biasa-biasa saja. Ada orang yang tidak makan, maka dia kemudian mengemis agar bisa makan, dan itu biasa-biasa saja. Akan tetapi, ketika aspek eksistensial ini diganggu, maka inilah yang kemudian membuat manusia harus mempertahankan eksistensialnya itu. Karena aspek eksistensial itu berkaitan dengan rasa.
“Penghinaan itu rasa, harga diri itu rasa, bahagia dan keadilan itu rasa. Maka di dalam ilmu pengetahuan atau hukum sekalipun, ketika aspek rasa (eksistensial) ini sudah diganggu, maka wajar saja jika manusia akan mempertahankan harga dirinya dengan segala cara,” paparnya.
Dalam kasus dugaan penghinaan dan ujaran kebencian yang dilakukan ZKR (43), Rusdianto Sesung menilai, hal ini telah menyasar pada aspek eksistensial. Jika aspek eksistensial ini diganggu, maka wajar saja jika Wali Kota Risma mempertahankan harga dirinya, dan melaporkan ZKR kepada pihak kepolisian.
Apalagi, postingan yang dilakukan ZKR ini sudah tergolong dalam unsur penghinaan, bukan sebuah kritikan. Sebab, kritikan itu letaknya bukan pada fisik. Kritikan itu akan menyasar pada program dan kinerja pemerintah. “Nah, postingan yang dilakukan ZKR ini sudah masuk dalam unsur penghinaan,” tegas Lulusan Terbaik S1 Ilmu Hukum Tata Negara FH Universitas Mataram Lombok ini.
Saat diminta tanggapan terkait langkah hukum yang telah dilakukan Tri Rismaharini kepada ZKR, Ketua Tim Perumus RUU Kitab Undang-Undang Hukum Administrasi Umum ini menjelaskan, bahwa semua warga Negara memiliki hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Artinya, Tri Rismaharini juga seorang warga negara dan mempunyai hak yang sama dalam upaya hukum.
“Nah, pada posisi ini, karena yang dikritik itu bukan kinerja, bukan program dan sudah menyasar pada fisik, sudah pada pribadi, maka berhaklah beliau (Tri Rismaharini) untuk melaporkan. Dan tidak ada UU yang dilanggar Bu Risma, tidak ada juga etika pemerintahan yang dilanggar Bu Risma,” jelas Rusdianto Sesung.
Lulusan Terbaik S2 Magister Ilmu Hukum Tata Negara FH Universitas Airlangga Surabaya ini juga menjabarkan, dalam menjalankan sistem pemerintahan, terdapat tiga aspek yang menjadi dasar acuan. Pertama, peraturan perundang-undangan. Kedua adalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) atau disebut Algemene Beginselen van Behorlijk Bestuur (ABBB). Dan ketiga adalah Norma-norma Umum Perilaku Pemerintahan yang Baik (Algemene Beginselen Van Behoorlijk Bestuur).
“Kita cek mana peraturan perundang-undangan yang dilanggar, apa ada maladministrasi yang dilanggar? kan tidak ada. Apakah yang bersangkutan (ZKR) minta diberikan pelayanan? kan tidak, apakah Bu Risma melakukan pelayanan yang buruk? kan tidak. AAUPB mana yang dilanggar? kan juga tidak ada,” tegasnya.
Apalagi, kata Rusdianto Sesung, ketika ada seseorang melaporkan Tri Rismaharini ke Ombudsman Jawa Timur dengan tuduhan telah melakukan penyalahgunaan wewenang ternyata juga tidak terbukti. Dari standar peraturan perundang-undangan tidak ada yang dilanggar. Bahkan, dari standar peraturan hukum tidak tertulisnya juga tidak ada yang dilanggar.
“Menurut penilaian saya selaku Ahli Hukum Tata Negara, Ahli Hukum Administrasi Negara, tidak ada yang dilanggar oleh Bu Risma,” kata dia.
Sehingga dalam kasus ini, ketika Tri Rismaharini melaporkan pemilik akun facebook yang diduga telah menghinanya itu sudah sesuai prosedur. Terkait siapa dibalik pemilik akun itu seorang perempuan ataupun laki-laki, hal ini sudah menjadi wewenang pihak kepolisian dalam proses penyelidikan.
“Lha ketika orang dibalik pemilik akun itu ternyata perempuan, kan bukan urusan Bu Risma. Karena itu tugasnya kepolisian pada saat dilakukan penyelidikan. Karena posisi pelapor juga tidak tahu siapa pemilik akun tersebut,” paparnya.
Kendati demikian, Rusdianto Sesung pun berpesan kepada masyarakat, bahwa kasus dugaan penghinaan dan ujaran kebencian ini dapat menjadi pembelajaran bagi semua agar lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Kalau dahulu ada pepatah mengatakan mulutmu harimamu, maka sekarang ini jari-jemarimu adalah buayamu. Jari-jemari tidak bersuara tapi dia bisa menerkam layaknya harimau.
“Artinya apa, kita mesti bijak dalam bermedia sosial. Tolong lebih bijak dan berhati-hati dalam menggunakan media sosial. Garang ketika di media sosial, tapi diam pada saat di dunia nyata, ini sangatlah berbahaya,” pungkasnya. (and)