RAJAWARTA : Dalam tiga Minggu terakhir, Gedung DPRD Yos Sudarso Kota Surabaya diwarnai tiga kegaduhan yang bikin hati dekdekan bagi yang mendengar dan melihatnya. Tentunya pemantik dari kegaduhan itu perang argumen antara legislator dan eksekutif.
Kegaduhan Pertama, ketika Walikota Surabaya Tri Rismaharini menanggapi Pandangan Umum Fraksi. Awalnya, tanggapan Walikota berjalan seperti aliran air di dalam alur paralon, lancar dan terarah. Namun, diakhir tanggapan walikota, dua politisi muda yang juga sama-sama berlatar belakang wartawan (mantan) menghadang pembacaan tanggapan Walikota dengan instrupsi.
Saat itu, bak seorang koboi, Arief Farhoni, politisi Partai Golkar ‘menodongkan pistol’ (intrupsi) ke arah Walikota dan meminta walikota 2 periode itu memperhatikan anak buahnya yang diduga telah melakukan Abuse of power untuk kepentingan pencitraan.
Hampir bersamaan, Imam Syafii politisi Partai Nasdem juga mengarahkan ‘Bazoka’ beramunisi mafia perizinan. Todongan dua senjata Arif Fathoni dan Imam Syafii, sempat membuat Sang Walikota tertegun. Lalu apa sikap walikota menghadapi dua moncong senjata yang diarahkan kepada dirinya.
Bukannya angkat tangan. Wanita berjilbab itu dengan cepat melemparkan granat ke arah dua politisi itu. Dar…der…dor… granat (pembelaan) Risma meledak di ruang Paripurna. Tidak hanya arif dan Imam yang terdampak ledakan granat Risma, semua hadirin yang hadir dalam sidang tersebut, juga terdampak ledakan.
Kegaduhan kedua, usulan Hak interpelasi. Belum reda suhu panas di ruang sidang Paripurna. Fraksi Partai Golkar yang diwakili Agoeng Prasodjo, mengibarkan bendera perang guna mengorek keterangan dari Eksekutif. Pemicunya, adalah tiarapnya semua pejabat Pemkot Surabaya ketika Menpora sidak ke Stadion Gelora Bung Tomo (GBT).
Untuk memenangkan perang, tentunya Partai yang sudah banyak merasakan getir manisnya pertempuran politik, lebih dulu menyusun langkah-langkah strategis, diantaranya melakukan lobby politik lintas fraksi. Setelah strateginya dianggap cukup, amunisi Hak interpelasi diledakkan lewat pemburu stetmen (pewarta). Tak terhindarkan lagi, rencana perang terbuka yang dihembuskan Fraksi Golkar terhadap Pemerintah menyebar tak terbendung.
Melihat panji-panji peperangan mulai dikibarkan, warga Surabaya pun mulai mengarahkan perhatiannya ke Gedung DPRD di Jalan Yos Sudarso. Satu pertanyaan yang rata-rata melintas dipikiran warga Surabaya, benarkah akan terjadi perang?
Melihat garangnya stetmen Agoeng Prasodjo, serangan fraksi Partai Golkar terhadap Pemerintah tidak mungkin bisa dihindari, meski pun dari pihak Pemerintah sendiri enggan menanggapi secara terbuka. Namun, fraksi Golkar tetap kukuh akan melancarkan serangan.
Di bagian lain, Partai pengusung Tri Rismaharini or Risma tidak mau tinggal diam. Mereka langsung menyatakan siap berdiri di barisan terdepan jika perang terbuka benar-benar terjadi. Selain itu, mereka juga siap jadi tameng dari setiap beleid yang dikeluarkan Pemerintahan Risma.
Sayangnya, tontonan menarik yang ditunggu warga Kota Pahlawan tidak berlangsung lama. Lihat saja, Di tengah perang argumen berlangsung, sang ‘Raja’ (Ketua DPRD) Adi Sutarwiyono yang tidak ingin ‘istananya’ jadi battleground pasang badan guna menyelesaikan polemik interpelasi. Tampilnya Adi, memaksa Pasukan Fraksi Golkar mengurungkan niatnya membombardir kubu Pemerintah dengan amunisi Hak Interpelasi.
Dalam melerai perang argumen ini, Adi tidak sendirian, dia membawa tiga wakilnya sekaligus, Laila Mufida, Reni Astuti, dan AH Thoni. Sebelum menjadi penengah, Adi lebih dulu meracik strategi guna meluluhkan Hati pasukan fraksi Golkar yang dikomandani Arif Fathoni. Racikan strategi itu bernama Persatuan.
Singkat cerita, berkat suara merdu yang dinyanyikan Adi, akhirnya Pasukan Partai Golkar berkenan ‘berjoget ria’ bersama Afghani Wardhana, wakil Pemerintah. Dan, Adi pun mengaku senang karena polemik Hak Interpelasi berakhir Happy ending.
Kegaduhan Ketiga adalah sikap politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang diduga membuang draft anggaran milik Diskominfo Pemkot Surabaya, saat hearing berlangsung di Komisi B DPRD Yos Sudarso. Lagi-lagi, peristiwa itu mengajak warga Surabaya terperangah menyaksikan insiden yang tergolong langka.
Peristiwa langka tersebut, merangsang para pemburu Stetmen untuk mengkonfirmasi kebenaran kabar tersebut, dan M. Fikser, Kadiskominfo menyambut dengan tangan terbuka saat dikonfirmasi pewarta. Kepada sejumlah pewarta yang berhasil menemuinya, mantan Kabag Humas Pemkot Surabaya itu, menceritakan panjang lebar terkait dengan ulah Alfian Limardi ST yang menyinggung perasaanya.
Tidak hanya Fikser yang menjadi buruan para pewarta, begitu juga dengan Alfian ‘si tertuduh’. Kepada pewarta Alfian menyampaikan ‘pledoinya’ untuk menepis tudingan yang menetapkan dirinya sebagai tertuduh dengan pasal tidak mengindahkan etika dalam bersidang.
Gelumat di Gedung DPRD Yos Sudarso tersebut, diam-diam menuai apologi dari beberapa kolega Alfian Limardi. Sebab, peristiwa di ruang Komisi B yang ‘mengadili’ eksekutif di sesi dengar pendapat merupakan insiden santoi (peristiwa wajar).
Bahkan lembaga ‘Pengadilan’ yang dipimpin Badru Tamam, yakni Badan Kehormatan sangat berhati-hati untuk menyikapi tindakan Alfian yang membuang draft anggaran milik Diskominfo. Bak sebuah labirin, kasus Alfian ini, jadi inpase. Beruntung, kedua kubu yang berseberangan pendapat itu segera bersikap dengan menyampaikan salam perdamaian via perekam kata (pewarta) dan mau berjabat tangan via redaksi kata (pemberitaan). Ya… mereka sudah saling memaafkan.
Dari tiga kegaduhan yang terjadi di Gedung DPRD Yos Sudarso terlihat jelas, Adi Sutarwiyono menjadi pahlawan karena berhasil meredam polemik fraksi Golkar dengan Pemerintah. Sementara kegaduhan Walikota Surabaya dengan dua politisi muda, Arif Fathoni dan Imam Syafii. Risma dianggap sebagai pahlawan, meski hanya oleh bawahannya saja.
Sedangkan untuk kasus Alfian Limardi versus M Fikser, sementara belum muncul kepermukaan siapa yang patut menjadi pahlawan. Sebab, yang terlihat hanyalah kedewasaan sikap dari keduanya yang saling meminta dan memberi, kata maaf.
Sekian dulu ya bro, oret-oretan yang dibuat usai bangun tidur ini. Tentu dalam oretan itu pasti ada kesalahan. Sebagai perangkai kata dari sebuah keterbatasan informasi, kutengadahkan kedua tangan untuk mendapat siraman kata maaf dari semua pihak.
Akhir kata dari penulis “Ribuan warna tidak akan mampu menghadirkan keindahan tanpa sebuah lembaran kanvas”
By : Sarana Demokrasi (Sade)