METRO  

Empat Prof Amerika dan Australia: Bagus Mana, Bu Risma atau Pak Eri?

Penulis ; Imam Syafii politisi Partai Nasdem

Jumat lalu, saya bertemu dengan empat profesor ilmu politik dari Amerika dan Australia. Mereka bertanya, lebih bagus mana mantan Walikota Surabaya Bu Risma atau Walikota saat ini Pak Eri Cahyadi? Rupanya keterkenalan Bu Risma saat memimpin Surabaya terdengar sampai ke telinga mereka.

“Who’s better?,” tanya keempat pakar ilmu politik itu mengawali perbincangan di sebuah kedai kopi modern di kawasan Jl Ahmad Yani Surabaya.

Para Profesor itu adalah Edward Aspinall dan Paul D Hutchcroft. Keduanya dari Australian National University (ANU), Canberra. Lalu Meredith L Weiss dari University at Albany New York, dan Prof Allen Hicken dari University of Michigan

Saya jawab bahwa keduanya sama baiknya. Mereka berdua punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.

“You’re looking by yourself. Traffic jam in Surabaya,” ujar saya. Inilah salah satu problem perkotaan yang belum berhasil diselesaikan, baik oleh Bu Risma maupun Pak Eri.

Prof Edward dan teman-temannya datang ke Kota Pahlawan untuk riset terkait politik lokal dan perkembangan demokrasi. Penelitian yang dipimpin Indonesianis dari benua kangguru itu membandingkan dengan beberapa kota lain di Indonesia, Filipina dan Thailand.

Saya dipilih manjadi salah satu nara sumber atas rekomendasi Redhi Setiadi, teman yang dulu bekerja sebagai periset di JPIP dan sekarang pindah ke USAID. Redhi dan beberapa dosen Fisip Uinsa ikut mendampingi para profesor tersebut.

Saya ditanya banyak hal. Di antaranya kenapa pindah jalur dari jurnalis menjadi politisi? Apa bedanya setelah menjadi anggota DPRD.

Untuk penelitian ilmiah ini, tentu saya jelaskan sesuai yang saya alami dan ketahui. Di antaranya, “Dulu ketika berprofesi wartawan, saya kesulitan mencari nara sumber yang berani bersikap kritis tehadap kebijakan pemerintah. Sekarang, setelah menjadi anggota dewan, saya justru kesulitan mencari media yang berani memuat berita-berita kritis. Padahal faktual dan didukung data,” papar saya.

Saat ini sangat sedikit sekali media yang kritis dan independen. “Why?,” tanya Prof Ed. Saya jawab, karena media tersebut diancam dikurangi, bahkan tidak diberi iklan oleh penguasa, jika membuat berita kritis. Sejumlah awak media sering mengeluhkannya. Para suhu politik itu pun tersenyum. (*)