RAJAWARTA : Kenapa di Tahun 2023 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Kota Surabaya alias Pemkos masih terlihat jauh dari asa? Karena Bappenda salah menerapkan regulasi, bahkan cenderung ‘membabibuta’.
“Kalau saya melihat Bappenda itu memiliki cara yang salah. Soalnya apa? Mereka tidak berusaha memperbaiki cara penerapan regulasi tapi malah membabibuta,” ujar Josiah Michael saat dimintai tanggapan tentang pendapatan Pemkos di triwulan pertama tahun ini, beberapa bulan lalu.
Politisi PSI DPRD Yos Sudarso Kota Surabaya itu memandang, Bappenda hanya berpikir bagaimana bisa menarik Pajak dan retribusi dari masyarakat atau pengusaha. “Seharusnya mereka berusaha menutupi kebocoran, baik sengaja maupun tidak oleh subjek retribusi maupun pajak. Itu yang tidak dilakukan oleh Bappenda,” jelasnya.
Dengan cara yang salah dalam menerapkan regulasi, maka ungkap Josiah, hampir semua pengusaha, terutama pengusaha Resto jadi hidup segan mati tidak mau. “Dampaknya, mereka (Bappenda) akan membuat dunia usai tertekan,” cetus Josiah yang juga anggota Komisi A DPRD Yos Sudarso.
Kisah singkat diurainya, sebagaimana diketahui Pandemi Covid–19 baru saja berlalu. Masyarakat, pengusaha baru saja recovery. “Ketika dihantam dengan cara membatibuta, otomatis mereka (pengusaha) mengalami kesulitan lagi, yang kemudian membuat pertumbuhan ekonomi jadi melambat,” jelasnya.
Josiah mengaku, dirinya banyak mendapat aduan dari pengusaha yang merasa dirugikan oleh perapan regulasi yang salah.
“Yang paling banyak mengeluhkan ini masalah PB1 dan reklame. Cara penerapannya selama ini salah, tidak merata. Jadi beberapa pengusaha resto itu tidak berani membebankan ke pelanggan. Karena takut dagangannya tidak laku. Jadi mereka menanggung sendiri bebannya,” jelasnya.
Contoh kasusnya tutur pemilik sepatu ukuran 46 ini, ada beberapa pengusaha resto di Surabaya yang tidak melaporkan pendapatannya secara riel.
“Jeleknya apa? Dia (pengusaha) tidak akan melaporkan secara riel. Mereka jual 100 porsi karena ditanggung sendiri maka mereka melaporkan 20 porsi,” tukasnya.
Kenapa bisa terjadi seperti itu? Karena menurutnya, pengenaan pajaknya tidak merata. “Pengusaha A kena PB1, sedangkan pengusaha B tidak kena PB1. “Kasus seperti ini yang banyak melaporkan ke saya,” cetusnya.
Selain ada penerapan regulasi yang salah, Josiah menilai Bappenda tidak paham yang terjadi di lapangan. “Pemkosnya sendiri tidak tegas dan tidak terlalu paham. Kasus PB1 yang tidak merata ini, tidak pernah ditindaklanjuti. Lebih gila lagi, pengusahanya (resto) dipanggil dan diberi sanksi,” tambahnya.
Coba lihat tukas Josiah, penerapan PB1 hanya berdasarkan pada jumlah kursi. Padahal menurut teorinya, pendapatan pengusaha tidak diukur dari jumlah kursi, tapi dari jumlah pembeli.
“Dasarnya apa? Pendapatan pengusaha diukur dari jumlah kursi. Jumlah kursi kan tidak berbanding lurus dengan pelanggan yang masuk. Bisa lebih sedikit, bisa lebih banyak,” ulasnya.
Sebenarnya tutur Josiah Michael, persoalan-persoalan yang terjadi, terkhusus penerapan PB1 sangat mudah diselesaikan. Caranya, Pemkos tidak tebang pilih dalam menerapkan penarikan pajak. “Kalau mau membuat mereka (pengusaha) patuh bebankan saja semua. Kalau perlu bikin sistem kasir yang bisa dipantau langsung Bappenda,” jelasnya.
Berikutnya masalah reklame (papan nama toko) di Kota surabaya juga kena pajak. Padahal dalam Perdanya tidak boleh. Faktanya papan nama toko jadi objek pajak.
Josiah menambahkan, jika Bappenda ingin pendapatannya meningkat, tidak perlu menarik pajak dengan persentase yang tinggi. “Turunkan jadi 7 persen. Tapi cakupannya harus lebih merata (berlaku untuk semua pengusaha). Dengan cara begitu, pengusaha pasti patuh dan Pendapatan Bappenda meningkat,” pungkasnya.