METRO  

Tepatkah Kebijakan Tes PCR Diterapkan Pada Semua Moda Transportasi? Ini Kata Remaja

Nama Penulis:
Az Zahrah Cipta Aprilia (Universitas Airlangga)

Sudah hampir 2 tahun pandemi COVID-19 mewabah di Indonesia, terhitung mulai pada tanggal 2 Maret 2020 ketika dua orang warga negara Indonesia terkonfirmasi tertular dari seorang warga negara Jepang.

Berbagai regulasi dan kebijakan telah ditetapkan oleh pemerintah untuk menekan angka penularan COVID-19, salah satunya kebijakan tes PCR sebagai salah satu syarat penerbangan domestik. Tes PCR sendiri merupakan tes yang menggunakan sampel dari hidung dan tenggorokan untuk mendeteksi adanya virus COVID-19 pada tubuh manusia.

Harga dari tes PCR bervariasi namun sesuai dengan kebijakan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, harga tes PCR untuk pulau Jawa dan Bali sebesar Rp. 275 Ribu dan untuk luar pulau Jawa dan Bali sebesar Rp.300 ribu.

Pada awalnya kebijakan tes PCR hanya diberlakukan untuk pengguna moda transportasi udara, namun pemerintah berencana mewajibkan tes PCR untuk seluruh moda transportasi saat menjelang libur Natal dan Tahun Baru (Nataru).

Dalam konversi pers virtual pada hari selasa (26/10/2021) Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan ,mengatakan bahwa penerapan kebijakan aturan baru tersebut akan dilakukan secara bertahap. Aturan tersebut akan diberlakukan untuk pengguna moda transportasi darat, laut, dan udara.

Dengan adanya wacana tentang rencana kebijakan tes PCR, yang akan diwajibkan bagi semua orang yang akan bepergian dengan menggunakan transportasi darat, laut, dan udara, masyarakat pun banyak yang menyerukan ketidaksetujuannya terhadap rencana pemerintah tersebut.

Protes tersebut diserukan melalui cuitan twitter, komentar pada suatu post di sebuah akun instagram atau facebook, dan masih banyak lagi. Tidak hanya orang dewasa saja, tetapi para remaja pun banyak yang ikut menyerukan ketidaksetujuannya terhadap rencana kebijakan tersebut pada media sosial.

Selain itu, para remaja juga kerap kali membicarakan masalah itu pada teman sebayanya. Berdasarkan data yang telah kami ambil melalui survey, para remaja ini kebanyakan tidak setuju karena mereka tidak punya biaya untuk mengambil tes PCR.

Seperti yang kita ketahui, para remaja seringkali bepergian bersama teman-temannya disaat weekend ataupun libur akhir tahun. Bagi remaja, bepergian bersama teman untuk menghabiskan masa muda mereka adalah hal yang penting.

Dengan rencana kebijakan pemberlakuan tes PCR untuk semua transportasi ini, mereka merasa keberatan sekali karena sebagian dari mereka tidak memiliki cukup uang jika harus membayar tes PCR ini sehingga biaya yang telah mereka sisihkan untuk bepergian akan berkurang juga untuk membayar tes PCR. Berkurangnya biaya untuk bepergian ini tentunya akan mempengaruhi dan menghambat rencana yang sudah mereka persiapkan.

Selain itu, mereka juga tidak ingin memberatkan orang tua dengan meminta biaya tambahan untuk melaksanakan tes PCR.

Selain alasan bepergian, beberapa remaja ini merupakan anak rantau yang tinggal jauh dari orang tuanya. Jika suatu saat terjadi keadaan darurat yang melibatkan orang tuanya sedangkan ia hanya memiliki biaya yang pas-pasan saja dan rencana kebijakan ini sudah diberlakukan, maka hal ini tentunya sangat memberatkan kepentingannya.

Jika dia tidak melakukan tes PCR, maka ia tidak bisa memeriksa keadaan darurat tersebut. Namun, jika ia melakukan tes PCR, maka ia tidak akan memiliki cukup biaya untuk melakukan perjalanan tersebut.

Dengan beberapa alasan yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa kesenjangan ekonomi merupakan alasan utama mengapa masyarakat tidak setuju akan rencana kebijakan pemerintah tentang tes PCR ini.

Masyarakat kelas menengah keatas mungkin akan setuju dengan rencana kebijakan ini karena mereka tidak memiliki masalah pada biaya. Namun, bagi masyarakat kelas menengah kebawah, akan sangat tidak adil bagi mereka jika pemerintah tetap mengesahkan rencana kebijakan ini.

Dengan mengacu pada dasar negara Indonesia yaitu pancasila, hal ini akan tidak sesuai dengan sila keadilan. Beberapa masyarakat tentu akan merasa dirugikan dan merasa tidak adil karena kesenjangan ekonomi yang terjadi di indonesia yang tidak dapat dihindari. Mungkin keputusan pemerintah ini bagus untuk menekan angka penyebaran COVID-19 di Indonesia. Namun, di satu sisi, rencana kebijakan ini juga akan semakin menambah beban rakyat kelas menengah kebawah.