Tak Ada Salju, Mengapa Super Snow Moon Bisa Terlihat di Indonesia?

Jakarta – Sinar rembulan di daerah Watukosek, Pasuruan, Jawa Timur terlihat tak seperti biasa. Selasa malam, 19 Februari 2019, Bulan terlihat lebih besar sehingga menyemburkan cahaya yang sangat benderang.

Ini lantaran fenomena alam, Super Snow Moon, menyapa dunia termasuk Indonesia. Kejadian tersebut merupakan peristiwa alam ketika Bulan berada pada jarak terdekatnya dari Bumi (perigee), di mana posisi rembulan berada dalam jarak kurang lebih 356,761 kilometer dari planet manusia.

“Itu purnama biasa, cuma ini jaraknya paling dekat sekitar 14 persen. Cahayanya lebih terang 40 persen. Yang cuacanya bagus, pasti kelihatan. Di daerah Watukosek itu kelihatan,” ujar Kepala Bagian Humas Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jasyanto kepada Liputan6.com, Rabu (20/2/2019).

Orang Amerika dan Eropa menyebutnya sebagai fenomena Super Snow Moon karena pada saat peristiwa ini terjadi, wilayahnya tengah mengalami musim salju yang lebat. Namun hal itu tidak berlaku di Indonesia.

“Secara ilmiah, (anggapan) itu belum bisa dibuktikan,” ucap Jasyanto.

Dia menjelaskan, negara Barat menafsirkan Super Snow Moon sebagai penanda musim salju yang lebat. Namun itu berbeda dengan Indonesia. “Tempat kita enggak ada salju. Di sini hanya musim hujan dan kemarau,” ujar dia.

Pendapat serupa diutarakan Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin. Dia memastikan tak ada kaitan antara Super Snow Moon dengan iklim tertentu di sebuah negara. Peristiwa ini murni fenomena alam semata.

“Tidak ada hubungannya. Purnama yang terjadi saat puncak musim dingin (Februari) ada yang menyebutnya Snow Moon. Itu sekadar sebutan oleh orang-orang yang mengalami musim dingin saja,” jelas Thomas saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (20/2/2019).

Pria kelahiran 57 tahun lalu itu menjelaskan, peristiwa Super Snow Moon adalah kejadian purnama biasa. Saat itu posisi Bulan lebih dekat sehingga ukurannya terlihat agak besar. Namun masyarakat awam sulit melihat perbedaannya jika tidak memotret dan membandingkan dengan kondisi pada umumnya.

“Supermoon sama dengan purnama biasa, terlihat mulai maghrib sampai menjelang matahari terbit. Seluruh dunia bisa melihatnya,” ucap Thomas.

Fenomena Super Snow Moon merupakan kejadian kedua pada tahun ini dan menjadi yang terbesar. Peristiwa serupa juga pernah ada pada 21 Januari 2019 namun disebut Super Blood Wolf Moon.

Supermoon berikutnya dipastikan akan kembali menghiasi langit pada 21 Maret mendatang. Bedanya, jarak bulan dengan perigee mencapai 360.000 kilometer.

Di balik pancarannya yang menawan, Super Snow Moon memiliki dampak tak baik bagi pergerakan air laut, terlebih mereka yang tinggal di pesisir.

Menurut Kepala Bidang Humas Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofosika (BMKG) Akhmad Taufan Maulana, Super Snow Moon berpengaruh terhadap air pasang. Namun itu tidak berdampak pada tinggi gelombang.

“Ini dua hal berbeda. Gelombang karena faktornya angin sedangkan air pasang karena gaya grativasi. Salah satunya terjadi bulan purnama yang disebut Super Snow Moon,” kata Taufan saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (20/2/2019).

Untuk itu, BMKG sempat meminta masyarakat untuk mewaspadai potensi adanya rob. Kondisi ini akan berlangsung sehari saja. “Hanya hari ini dampaknya. Pada hari berikutnya, tidak ada kaitan,” ujar Taufan.

Dalam catatan BMKG, sejumlah daerah yang terkena imbas adanya fenomena Super Snow Moon adalah daerah pesisir utara Jakarta, pesisir utara Jawa Barat, pesisir utara Jawa Tengah, pesisir utara Jawa Timur, dan pesisir Kalimantan Barat.

Kondisi ini berdampak pada terganggunya transportasi di sekitar pelabuhan dan pesisir, aktivitas petani garam dan perikanan darat serta kegiatan bongkar muat di pelabuhan.

Sementara itu, BMKG Maritim Tanjung Perak Surabaya juga telah mengeluarkan peringatan kepada warga Jawa Timur (Jatim) terkait Supermoon 19 Februari 2019.

Bahkan sejak Senin hingga Rabu, 18-20 Februari 2019, warga Jawa Timur diminta mewaspadai rob lantaran adanya Supermoon.

“Supermoon tibaa !!! Fenomena Supermoon terjadi akibat bulan berada dalam posisi terdekatnya dengan bumi,” tulis BMKG Maritim Tanjung Perak Surabaya di instragram-nya, Minggu 17 Februari 2019.

Dalam unggahan instagram, BMKG Maritim Tanjung Perak Surabaya menyebut puncak hujan masih akan terjadi pada Februari 2019.