RAJAWARTA : Gerakan sedekah posting di media sosial yang digagas UNICEF bisa menjadi ruang baru bagi masyarakat untuk berekspresi. Generasi milenial menjadi lokomotif pengerak untuk bisa menyebarkan kebaikan di dunia maya.
Pakar komunikasi yang juga pegiat media sosial Universitas Airlangga Surabaya Dr Suko Widodo menuturkan, sebaran berita serta postingan hoax dalam beberapa tahun terakhir ini cukup masif di berbagai lini media massa. Adanya gerakan bersedekah posting bisa menjadi titik balik yang efektif.
“Saya yakin kalau ini dilakukan secara konsisten, kesadaran anak-anak muda untuk peduli pada ranah sosial akan ikut terseret. Apalagi ini kegiatan bersedekah yang tak perlu mengaluarkan uang cash,” ujar Suko, Sabtu (22/6/2019).
Ia melanjutkan, sedekah posting ini bisa menciptakan gerakan baru yang juga membawa efek domino dalam keseharian anak milenial. Mereka bisa menjadi filantrofis sejak dini. Bahkan, generasi milenial bisa ikut berkontribusi langsung menyelamatkan masa depan anak-anak Indonesia.
“Pada dasarnya anak milenial itu suka bersedekah. Sekarang ada ruang yang bisa dikembangkan. Mereka bisa berkontribusi dengan cara paling sederhana, sedekah posting di media sosialnya,” ucapnya.
Suko juga menjelaskan, gerakan yang digagas UNICEF ini harusnya direspon dengan cepat oleh berbagai lembaga pendidikan. Baik itu perguruan tinggi atau sekolah-sekolah yang ada di berbagai daerah. Mereka harus bisa melihat semua ini sebagai pendidikan karakter bagi peserta didiknya.
“Ada banyak hal positif yang bisa dipetik, ini adalah gerakan sedekah yang sudah jelas kebaikannya. Kedua, gerakan ini bisa menciptakan kebiasaan yang terpuji bagi anak-anak milenial,” ungkapnya.
Ia juga memahami kalau anak milenial selalu berjejaring. Mereka memahami betul bagaimana percepatan informasi terbangun dalam beberapa tahun terakhir. Masing-masing anak milenial memiliki beberapa kecenderungan untuk posting sesuai dengan kesukaan serta pertemanan yang menjadi keseharian mereka.
“Jadi mereka tak melulu memposting tentang hobies, tapi juga ruang sosial yang menunjukan kepedulian mereka terhadap nasib anak-anak,” jelasnya.
Selain itu, katanya, mekanisme sedekah sendiri kini sudah meninggalkan cara-cara konvensional. Teknologi benar-benar membantu manusia untuk bisa berbuat lebih dengan cara yang lebih elegan.
“Jadi sedekah posting ini bisa menjadi role model kebaikan. Ada kebiasaan bersedekah yang cukup dilakukan dengan mengirimkan postingan di media sosial,” katanya.
Sosiolog Anak Surabaya Prof Bagong Suyanto mengatakan, sedekah posting ini begitu menarik sebagai upaya membangun wacana serta counter wacana yang positif bagi anak-anak.
“Manfaat besarnya dalam jangka panjang bisa menumbuhkan literasi kritis sekaligus kepedulian pada anak,” ujarnya.
Ia melanjutkan, banyak pihak memahami sebaran postingan hoax merusak banyak sendiri informasi yang diperoleh anak-anak. Sehingga dibutuhkan counter diacourse yang bisa berperan. “Saya melihat sedekah posting ini bisa menjadi counter diacourse itu,” sambungnya.
Bagong sendiri memahami kalau kepekaan anak milenial pada isu-isu anak memang memudar. Sehingga diperlukan ruang besar bagi mereka untuk dirintis kembali kepedulian itu. Termasuk juga peran anak milenial yang bisa menjadi motor pencegah kekerasan anak.
“Media sosial memberikan porsi lebih untuk anak berekspresi. Mereka menjadi mengerti kalau ada gerakan baik, melalui sedekah posting yang bisa terus mereka lambungkan,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komunikonten (Institut Media Sosial dan Komunikasi) Hariqo Wibawa Satria melihat gerakan sedekah konten yang digagas oleh UNICEF di Indonesia dapat menjadi batu ujian. Pasalnya, selama ini di beberapa belahan lain di dunia, gerakan like maupun share sebuah konten di media sosial maupun laman resmi UNICEF, dianggap tidak memberikan dampak signifikan terhadap gerakan penyelamatan anak.
“Saya pernah baca, yang berpengaruh itu adalah donasi Anda dan bukan sekedar like. Nah, saya melihat UNICEF di Indonesia dapat lebih memahami kondisi sosial masyarakatnya. Bahwa ada yang harus bergerak di darat maupun di dunia maya, dalam hal kampanye penyelamatan anak-anak ini. Tetapi mungkin ini bergantung juga dari wilayahnya ya,” kata Hariqo.
Donasi dari para filantrofi kepada UNICEF, lanjutnya, didasarkan pada setiap like dari sebuah postingan konten yang diunggah, dapat menjadi ujian transparansi keuangan bagi UNICEF.
“Ini sebuah ide menarik, meskipun untuk skala individu maupun perusahaan sebenarnya sudah ada yang melakukan di Indonesia. Tapi ini baru untuk skala gerakan sosial kemanusiaan. Ini ujian bagi UNICEF yang sudah memiliki track record bagus selama ini,” ungkapnya.
Sedekah posting ini juga dianggap akan mampu memberikan pelajaran kepada generasi saat ini, bahwa apapun posting positif yang mereka share di media sosial, akan langsung menimbulkan dampak. Sehingga tidak hanya yang bersifat materi saja.
“Semua hal yang dilakukan itu perlu pijakan awal. Nah, terhadap generasi muda saat ini, landing patch-nya di awal bisa berupa sedekah konten ini. Baru setelah terbentuk pemahaman bersama, akan dilakukan aksi lapangan,” jelasnya.
Sebelumnya, UNICEF membuat gebrakan baru dengan memperkenalkan gerakan Invest dalam merespon era Society 5.0. Mereka meluncurkan gerakan sedekah posting di media sosial untuk menebar jala kebaikan.
Gerakan ini untuk mengakomodir para filantrofis muda dan generasi milenial yang ingin ikut berkontribusi langsung menyelamatkan masa depan anak-anak Indonesia. Mereka bisa berkontribusi dengan cara paling sederhana, menyisihkan sedikit waktu memposting konten-konten kampanye positif tentang anak-anak Indonesia. Seperti misalnya #StopBullying, #ImunisasiBisa, #SayangiAnakIndonesia. Atau bisa juga posting foto-foto yang mengabarkan kondisi anak-anak di sekitar lingkungan yang butuh perhatian dengan segera.