Polemik Penetapan UMP dan UMK, AH Thoni : Butuh Solusi Teppo Seliro

RAJAWARTA : Pemerintah Propinsi Jawa Timur akhirnya menetapkan Upah Minimum Propinsi (UMP) yang ditetapkan sebesar Rp 1.891.567 atau naik Rp 22.790 (1,22%) dari UMP tahun sebelumnya Rp 1.868.777.

Penetapan yang dibacakan Heru Tjahjono Plh Sekdaprov mewakili Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur, memantik reaksi dari kalangan buruh. Salah satu reaksi buruh, adalah ribuan buruh akan menggelar aksi unjukrasa besar-besar.

Terkait dengan Penetapan UMP tersebut, AH Thoni Wakil Ketua DPRD Yos Sudarso Kota Surabaya, ikut menyumbangkan idenya dalam isu UMP. Andilnya politisi Gerindra itu bukan tanpa alasan, sebab penetapan UMP tersebut, sangat besar pengaruhnya terhadap Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).

Di ruang kerjanya, Thoni, mengaku senang kalau Upah buruh naik, apalagi naiknya signifikan. Namun, tuntutan UMP itu harus berdasarkan situasi yang berkembang.

“Kita senang kalau upah buruh itu naik, dan itu mimpi kita semua,” cetus Thoni mengawali interview dengan media ini (22/11/2021).

Tetapi tutur Thoni, semua pihak tentu tahu, seluruh Indonesia, termasuk Jawa Timur berperang melawan Pandemi C19 hampir 2 tahun, maka tentu semua pihak sangat paham, bahwa di semua lini terkena imbasnya. “Dan, banyak perusahaan merugi, banyak perusahaan yang mati, bahkan gulung tikar,” ujarnya.

Melirik fakta tersebut diatas ujarnya, perusahaan-perusahaan yang saat ini masih ada, bisa dipastikan bahwa perusahaan-perusahaan itu memiliki ‘daya tahan’ yang luar biasa.

“Andaikata mereka tutup maka karyawannya sudah tidak bisa bekerja. Kalau sekarang masih ada perusahaan yang buka dan masih kita dorong bersama-sama untuk bangkit, kemudian sekarang dihadapkan pada persoalan buruh meminta kenaikan UMP,” jelasnya.

Thoni mengungkapkan, bukannya mau mengabaikan kepentingan buruh. Tapi ketika tuntutan buruh itu harus dipenuhi, hal tersebut akan sangat membebani para pengusaha, dimana saat ini sedang didorong untuk kembali pulih seperti sebelum Pandemi C19. “Kami ini tidak mengabaikan kepentingan buruh, tapi kami melihat secara berimbang, antara buruh dan pengusaha,” cetusnya.

Di saat seperti menurut Thoni, beberapa pihak harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Misalnya, adanya kebiasaan di kelompok dalam setiap tahunnya ada kenaikan upah.

“Kita bisa mengurangi sebuah tradisi yang sering kali nampak dalam setiap tahun selalu ada tuntutan kenaikan upah,” ujarnya.

Terkait UMP yang ditetapkan Pemprojat sebenarnya lanjut Thoni, merupakan sebuah bentuk dan atensi Gubernur Jawa Timur terhadap persoalan-persoalan perburuhan.

Dalam hal ini ungkapnya, posisi Gubernur Jatim berada dalam posisi dilema. Bagaimana tidak? Menaikkan lebih, akan memukul perusahaan-perusahaan. Tidak menaikkan Gubernur akan berhadapan dengan tuntutan buruh.

Thoni menjelaskan, jika melihat kondisi saat, dimana hampir dua tahun Jawa Timur terlilit Pandemi C19, maka Thoni tidak bisa menyalahkan pihak manapun, termasuk Gubernur Jawa Timur dan buruh.

Bahkan Thoni mangaku memaklumi andaikata Gubernur Khofifah tidak menaikkan UMP. “Kalau kita melihat riel yang ada, situasi ekonomi yang ada, pergerakan ekonomi yang sesungguhnya. Andaikata itu (UMP) tidak dinaikkan, itu masih bisa ditoleransi,” ulasnya.

Thoni mencontohkan, sebelum ada Pandemi C19, pertumbuhan Ekonomi bisa dibilang cukup bagus. Sebab, pertumbuhannya tidak sampai mines. “Di Surabaya itu pertumbuhan sebelum covid 5,2 persen. Setelah covid mines 4,8 persen, hampir 10 persen. Ini bukan angka yang main-main,” tukasnya.

Jadi ujarnya, kalau melihat penurunan 4,8 persen, saat ini masih ada perusahaan yang bisa buka, ini luar biasa. “Itu artinya sekarang buruh yang bisa bekerja, itu juga luar biasa,” jelasnya.

Thoni mengaku memiliki fakta, dimana para pekerja sangat berharap perusahaannya tidak tutup. “Saya mendengarkan sendiri. Seperti di Jalan Sudirman, mereka tetap bekerja, asal tidak tutup,” jelasnya.

Bagaimana dengan penetapan UMK di Surabaya? Thoni perpandangan hampir sama dengan penetapan UMP. Yang paling penting, adalah semua pihak menyadari kondisi ekonomi pasca pandemi yang mengalami penurunan, dimana dampaknya juga akan memperngaruhi penetapan UMP dan UMK.

“Nah sekarang ini kan masa recovery sedang dilakukan, antara buruh dan pengusaha bisa saling mengerti. Supaya apa? Supaya stabilitas ekonomi masih bisa dikendalikan,” ulasnya.

Kalau tidak ada saling mengerti antara buruh dan pengusaha, dimana para buruh hanya berpikir satu arah begitu juga Pemerintah, maka Thoni khawatir banyak perusahaan yang akan menarik diri dari dunia usaha.

“Karena kalau terjadi sebuah tuntutan harus naik, harus naik, harus naik. Kami bisa memahami, dipastikan akan banyak perusahaan-perusahaan yang akan mengajukan permohonan untuk menghentikan buruh,” ulasnya.

Jadi, lanjut Thoni, inpact dari tuntutan buruh yang tidak bisa membangun rasa saling pengertian dengan kondisi saat ini, maka akan banyak buruh yang berhenti bekerja. “Jadi akan terjadi PHK massal, karena mereka (pengusaha) tidak memiliki kemampuan untuk menggaji,” ulasnya.

Terkait dengan UMK, dimana saat ini di Kota Surabaya belum ditetapkan, Wakil Rakyat Yos Sudarso mengungkapkan, beberapa hari ini dirinya sudah berkoordinasi dengan para pemangku kebijakan di Pemkos.

“Saya sudah berkoordinasi dalam forum Pimda, kita sudah ngobrol-ngobrol walaupun itu sifatnya informal. Bahkan kita ini pernah pemohon dengan hormat kepada pengusaha agar tidak tutup. Tapi faktanya bagi yang tidak mampu bertahan mereka terpaksa tutup,” jelasnya.

“Untuk ini (penetapan UMK) di Surabaya kemarin dilakukan mediasi untuk mendudukkan persoalan ini secara tripartit, dan kemudian mendiskusikan ini secara seksama,” ulasnya.

Dan, Pemkos perlu memfasilitasi data tentang struktur kondisi perekonomian terkini, dan disajikan secara transparan. “Biarkan masyarakat mengerti, buruh mengerti, sehingga nanti akan ada solusi. Solusinya nanti solusi teppo seliro, sebagai jalan Tengah,” pungkasnya.