UMUM  

Gakin, Pendidikan, Hingga Gagalnya Program Padat Karya Banyak Dikeluhkan Warga

RAJAWARTA ; Keluarga Miskin (Gakin), Pengangguran, dan Pendidikan paling banyak dikeluhkan oleh Warga Dapil I Kota Surabaya, hal tersebut terungkap di 12 titiik reses Imam Syafii beberapa waktu lalu.

Imam Syafii yang juga politisi Partai Nasdem DPRD Yos Sudarso Kota Surabaya menjelaskan, perubahan nama atau status Miskin dari MBR menjadi Gakin atau Gamis banyak dikeluhkan warga diacara reses.

Sebab fakta menyebutkan dengan perubahan nama menjadi Gakin, justru memunculkan persoalan baru di tengah Masyarakat. Diantaranya, Warga MBR yang selama ini tinggal di rusun tercancam harus keluar, karena statusnya tidak terdeteksi di Gakin.

“Pertama kriteria Gakin yang ternyata banyak masyarakat menjadi ‘korban’ yang dulu MBR sekarang tidak masuk Gakin, dan itu berpengaruh pada permakanan, berpengaruh juga pada program Pemerintah yang seharusnya diperoleh warga,” ujarnya (2/2/2023).

Persoalan berikutnya, untuk menempati Rusun, dulu salah satu syaratnya harus MBR, namun sekarang berubah nama menjadi Gakin. “Begitu tercoret dari MBR, mereka terancam keluar dari Rusun,” ucapnya.

Perubahan status dari MBR menjadi Gakin, memang terlihat angka kemiskinan di Surabaya berkurang. Padahal sesungguhnya, berkurangnya angka Kemiskinan di Surabaya bukan karena kenyataan tapi, karena secara kriteria (dari MBR menjadi Gakin).

Persoalan lain yang banyak mengemuka dalam resesnya. Masalah pengangungguran banyak dikeluhkan oleh usia produktif. “Pengangguran dan kemiskinan kan satu bagian yang tak terpisahkan. Itu terkait dengan Gakin. Bahwa mereka ini ternyata masih miskin, masih belum bekerja,” jelasnya.

Banyaknya keluhan terkait dengan pengangguran dan kemiskinan ini, menjadi ironis jika dikaitkan dengan pernyataan walikota yang mengatakan bahwa Pemkos sudah berhasil menurunkan angka kemiskinan hingga 80%. “Ternyata faktanya kan tidak seperti itu,” cetusnya, seraya tersenyum.

“Mari kita uji pernyataan Walikota. Tahun 2022, inflasi di Surabaya 6,67%. Dengan angka inflasi sebesar itu, menurut saya telah terjadi pemiskinan karena daya belinya jadi turun,” ulasnya.

Belum lagi ditambah dengan UMK kota Surabaya naiknya sedikit. Inflasinya 6,67% sedangkan kenaikan UMKnya cuma 3,42%. “Karena itu logikanya, inflasinya tinggi, daya beli turun. Kok bisa angka kemiskinan turun,” tukasnya.

Selain inflasi yang tinggi dan daya beli turun. Ada fakta lain yang bisa membantah angka kemiskinan di Kota Surabaya turun hingga 80%. Fakta itu adalah banyak program padat Karya yang inisiasi Walikota bisa disebut gagal.

“Program padat karya yang diinisiasi dan direalisasi oleh Pak Wali menurut saya banyak yang gagal. Saya minta tolong tunjukkan dimana program padat karya yang berhasil. Kalau saya bisa menunjukkan nama saja yang gagal,” ulasnya.

Terus proyek padat karya yang dicanangkan Pemkos. Serapan tenaga kerjanya dan serapan pengentas kemiskinan di Surabaya, dinilai Imam masih jauh dari asal alias masih sangat kecil. “Serapannya kecil kemudian banyak yang gagal. Kok kemudian bisa bilang angka kemiskinan turun 80%. Logikanya dimana,” tukasnya.

Seharusnya menurut Imam, Pemkos membuat program-program yang bisa menarik minat investor untuk masuk ke Surabaya. “Investor itu bisa menarik teanga kerja. Bukan hanya bikin kafe, bikin tempat ini dan itu. Tempat-tempat seperti itu, daya serap tenaga kerja kan kecil. Contohnya cafe viaduk, dijanjikan sama dengan UMK, tapi pada kenyataannya nggak sampai separuh UMK. Ini contoh kecil kegagalannya,” ujar Imam sambil tertawa lebar.

Kemudian persoalan pendidikan. Untuk pendidikan Imam Syafii mengapresiasi penambahan kuota di SMA sederajat, dari 13 ribu menjadi 25 ribu. Tapi sayangnya Imam menganggap realisasinya agak lemot.

“Seharusnya mulai Desember 2022 sudah mulai diurusi ketika Januari sudah running. Sampai hari ini kan, baru saja diserahkan ke bagian Kesra dari Disbudporapar. Sehingga persatu Januari tidak bisa running,” tukasnya.

Yang terakhir ungkapnya, persoalan UMKM yang ikut E-peken, juga banyak dikeluhkan. “UMKM yang ikut E-Peken dagangannya banyak yang nggak laku,” tuturnya.

Persoalan seperti ini sebenarnya sudah diantisipasi oleh Pemkos. Tapi mungkin karena kurangnya pelatihan, dan kurangnya permodalan UMKM. Sehingga persaoalan UMKM banyak bermunculan. “Contohnya program Baznas Surabaya, yang setiap fakir miskin yang buka usaha, dia dapat modal Rp 2 jutaan. Artinya banyak program-program itu tidak sampai ke Masyarakat,” tambahnya.

“Saya nggak tahu. Mungkin dengan kuota yang terbatas kesannya kok bisak bisik. Floor saja diumumkan dan disosialisasikan seluas-luasnya kemudian diferivikasi mana yang paling membutuhkan program itu dan memenuhi syarat,” pungkasnya.