Format Baru Debat Ma’ruf Amin Vs Sandiaga, Siapa Diuntungkan?

Jakarta – Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan debat sesi ketiga Pilpres 2019 berlangsung pada Minggu, 17 Maret 2019 mendatang. Berbeda dari debat sebelumnya, kali ini dua calon wakil presiden, Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno yang akan beradu gagasan.

Sejak akhir Februari 2019 lalu, kedua timses pasangan calon mulai melakukan lobi-lobi dengan KPU untuk menyepakati format debat.

Misalnya saja soal pembatasan jumlah penonton di dalam lokasi debat. Pada debat sebelumnya, 600 orang diperbolehkan masuk ke area debat. Namun pada debat cawapres ini, KPU hanya membatasi menjadi 450 orang.

Jumlah itu terdiri dari 75 pendukung pasangan calon nomor urut 01, 75 pendukung pasangan calon nomor urut 02, dan 300 orang tamu undangan KPU.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago berpendapat, perlu ada perubahan dalam format debat sesi ketiga ini. Pangi sepakat apabila jumlah penonton atau audiens dibatasi. Bila perlu, audiens tidak ada di ruangan debat.

Selain mengganggu para calon yang beradu gagasan, Pangi menilai, tujuan debat bukan untuk meyakinkan audiens yang ada di ruangan debat dalam menentukan pilihan.

“Kan mereka sudah punya pilihan. Mereka adalah orang yang sudah mantap memilih. Tapi kan yang diyakinkan adalah penonton atau pemirsa dari Sabang sampai Merauke, itu yang mau dicapai. Jadi kalau kemudian tidak bisa tenang, kan cukup mengganggu,” kata Pangi saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Jumat (15/3/2019).

Hal senada juga disampaikan Direktur Charta Politika, Yunarto Wijaya. Ia mengambil contoh bagaimana debat pilpres digelar di Amerika Serikat.

Menurut Yunarto, di AS, tak ada batasan bagi kandidat menyampaikan gagasan. Sehingga masyarakat bisa lebih paham mana sosok yang pantas dipilih.

“Intinya adalah mengurangi batasan yang bisa mengganggu proses interaksi dari dua orang yang berdebat baik dari sisi waktu, dari sisi orang yang ada di sekitarnya, atau seperti iklan misalnya. Menurut saya (pengurangan jumlah penonton) sudah pada arah format yang benar,” ucap Yunarto kepada Liputan6.com, Jumat (15/2/2019).

Durasi bagi paslon menyampaikan gagasan juga menjadi sorotan KPU. Usulan ini sempat disampaikan calon wakil presiden nomor urut 01, Ma’ruf Amin.

Menurut Ma’ruf, masalah waktu masih menjadi persoalan utama bagi dirinya. Dalam simulasi debat yang dijalaninya, banyak fokus soal bagaimana memangkas gaya dakwah sang kiai ke atas panggung debat.

Ketua Umum MUI itu menyebut, masih sulit untuk menyesuaikan waktu. Demi debat, Ma’ruf harus bisa mengubah cara presentasinya. Pada debat pertama, ia sempat ditegur moderator karena penyampaiannya panjang dan mirip pidato.

“Bagaimana saya harus bisa biasa, saya kan ngomong panjang, ngaji (mengaji) itu kan panjang. Harus menyesuaikan,” ucap Ma’ruf, Selasa 12 Maret 2019 lalu.

Pangi pun sepakat dengan usulan penambahan durasi paslon dalam menyampaikan gagasan. “Ada orang yang enggak senang dengan pembatasan itu,” ungkap Pangi.

Pangi berpendapat, selain penambahan waktu, perlu ada penekanan pada sesi tanya jawab yang melibatkan dua kandidat. Waktu yang lebih banyak pada sesi tanya jawab bisa memancing para paslon berimprovisasi. Sehingga debat tidak berjalan kaku.

“Jadi tanya jawabnya jangan dikasih waktu, biar mengalir. Jadi bisa lebih variatif, lebih cair, tidak kaku dan mereka bisa lebih berselancar dengan narasi dialektika mereka. Mereka bisa membangun tesis dan antitesis baru gitu, dengan diskusi dan narasi yang mereka punya,” kata Pangi.

Sementara Yunarto melihat, durasi juga akan menghalangi kedua kandidat bereksplorasi menyampaikan gagasan. Ia pun sependapat, bila durasi debat tidak dibatasi.

“Dengan durasi yang lebih lama eksplorasinya akan lebih memiliki ruang. Akan lebih membuat kandidat nyaman menurut saya,” ucap Yunarto.

Bicara mengenai siapa yang diuntungkan pada debat cawapres, Yunarto menyebut bahwa kedua kandidat memiliki peluang yang sama.

Misalnya, kata Yunarto, mengenai durasi debat yang ditambah KPU. Ia mengatakan baik Ma’ruf maupun Sandiaga sama-sama bisa mengambil celah dan memanfaatkan peluang yang ada saat debat berlangsung nanti.

“Karena prinsipnya, buat siapapun, ketika diberi ruang waktu lebih lama pasti akan lebih bisa mengeksplorasi pemikirannya tanpa harus berpikir mengenai waktu yang seringkali membuat orang bicara poin-poin yang sulit dimengerti orang lain. Itu, menurut saya, poin positif buat dua-duanya,” kata Yunarto.

Sementara pendapat berbeda disampaikan Pangi. Rencana penambahan durasi debat bisa saja menguntungkan salah satu kandidat. 

“Soal masalah waktu, kalau ada salah satu pasangan calon suka dengan waktu yang panjang, berarti yang diuntungkan pasangan itu kan,” ucap Pangi.

Yunarto juga tidak mempermasalahkan apabila kedua kandidat saling menyerang saat debat nanti. Menurutnya saling kritik dari gagasan yang disampaikan merupakan hal yang wajar. 

“Yang ditolak itu kan serangan personal yang tidak memiliki kaitan dengan urusan publik. Yang ditolak itu kan menggunakan fitnah ketika menyerang lawannya,” kata Yunarto.

Meski ada kandidat yang diuntungkan, namun bagi Pangi kandidat tersebut belum tentu unggul dalam debat. Ada hal lain yang menjadi perhatian masyarakat ketika melihat kandidat berdebat. Mulai dari etika hingga gimmick yang disampaikan.

“Yang jelas mereka tidak hanya memenangkan kata-kata, ada juga di situ bahasa tubuh, ada juga di situ gimmick, ada juga kemudian mereka saling menghormati. Kan orang melihat bahasa tubuh juga respect. Misalnya, lebih menghargai orang, kan pengaruh itu. Bisa jadi kan masyarakat lebih tertarik ke situ dari pada apa yang dibahas di debat,” tutur Pangi.

Sementara Yunarto tidak bisa menebak siapa yang bakal unggul dalam debat nanti. Meski kedua kandidat memiliki keunggulan masing.

“Enggak tahu saya tebak-tebak seperti itu. Karena semua orang di situ memiliki posisi yang sama. Tidak lagi dilihat dari sisi umur, latar belakang, mereka adalah kandidat yang harus mempertanggungjawabkan ide yang mereka jual,” ucap Yunarto.