SURABAYA – Komisi D DPRD Kota Surabaya menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dinas Kesehatan, BPJS Kesehatan, sejumlah perwakilan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), serta puluhan kepala puskesmas se-Kota Surabaya.
Rapat ini difokuskan pada evaluasi pelayanan kesehatan, khususnya menyikapi daftar 144 penyakit dasar dan sistem rujukan dalam program BPJS Kesehatan yang belakangan menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat.
Ketua Komisi D DPRD Kota Surabaya, dr. Akmarawita Kadir, menegaskan perlunya klarifikasi menyeluruh kepada masyarakat terkait kebijakan tersebut. Ia menyayangkan masih banyak warga yang salah memahami daftar 144 penyakit sebagai acuan pembatasan rujukan layanan kesehatan.
“Sebenarnya, ini sudah terlanjur viral. Padahal faktanya, daftar 144 penyakit itu tidak memiliki dasar hukum yang jelas,” ucapnya seusai memimpin rapat, Selasa (01/07/2025).
Tak hanya itu, dr. Akmarawita juga menyoroti kinerja Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS) yang menurutnya perlu segera dievaluasi, terutama dalam pencatatan diagnosis yang mengacu pada daftar tersebut.
“Contohnya asma attack, yang masuk daftar 144. Padahal asma attack adalah kondisi sesak napas yang bisa menjadi emergensi. Dalam kondisi gawat darurat seperti itu, pasien wajib diterima di IGD rumah sakit,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa apabila rumah sakit menolak pasien hanya karena diagnosisnya termasuk dalam daftar tersebut, hal itu bisa berdampak serius dan membahayakan keselamatan pasien. Oleh karena itu, Komisi D mendesak Dinas Kesehatan Kota Surabaya segera mengevaluasi sistem SIMPUS dan memastikan bahwa pencatatan diagnosa berbasis daftar tersebut tidak lagi digunakan tanpa dasar hukum.
“Ini jadi pelajaran penting bagi kita semua, khususnya di Kota Surabaya. Setiap kebijakan yang dijalankan harus berbasis pada aturan yang jelas, seperti Peraturan Wali Kota (Perwali) atau regulasi resmi lainnya,” tandasnya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala BPJS Kesehatan Cabang Surabaya, Hermina Agustin Arifin, menegaskan bahwa tidak ada aturan resmi yang menjadikan daftar 144 diagnosa sebagai batasan rujukan pasien. Menurutnya, daftar tersebut hanya merupakan acuan standar kompetensi dokter umum.
“Daftar 144 diagnosa itu bukan aturan. Itu merupakan standar kompetensi minimal yang harus dikuasai oleh lulusan dokter umum. Bukan berarti penyakit-penyakit tersebut tidak bisa dirujuk ke dokter spesialis jika memang ada indikasi medis,” jelas Hermina.
Dengan adanya pertemuan ini, Komisi D berharap ke depan tidak ada lagi kesalahpahaman dalam sistem pelayanan kesehatan, khususnya terkait rujukan BPJS. Masyarakat pun diimbau untuk tidak ragu menuntut hak layanan jika memang kondisi medis mengharuskannya.